BANDA ACEH – Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pariera kembali menyoroti carut marutnya penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh-Sumatera Utara (Sumut). Selain tak ada perbaikan dari masalah fasilitas, PON kali ini juga diwarnai dengan insiden pemukulan wasit sepakbola yang menuai kontroversi.
“Kami kecewa dengan penyelenggaraan PON kali ini. Banyaknya masalah di PON Aceh-Sumut merupakan sebuah kegagalan manajemen karena kurang maksimalnya persiapan dan pelaksanaan,” kata Andreas kepada wartawan, Kamis (19/9).
Kontroversi yang terjadi dalam pertandingan PON cabang sepakbola, di mana wasit yang bertugas di laga Aceh melawan Sulawesi Tenggara dinilai berat sebelah. Eko Agus sebagai wasit dinilai menguntungkan Aceh sebagai tuan rumah.
Keputusan kontroversial wasit yang memberikan kartu merah untuk beberapa pemain Sulteng membuat pertandingan memanas. Sehingga pemain Sulteng, Muhammad Rizki Saputra, memukul wasit Eko setelah keputusan penalti diberikan untuk Aceh.
Andreas menegaskan, insiden pemukulan tersebut telah mencoreng dunia olahraga yang semestinya menjunjung sportivitas.
“Tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, perlu ada tindakan disiplin. Tapi di sisi lain, dugaan wasit yang berat sebelah ini juga harus diinvestigasi. Jangan sampai pertandingan olahraga akbar Indonesia tercoreng karena adanya kecurangan-kecurangan,” tegasnya.
Buntut kontroversi wasit yang dianggap berat sebelah ini, PSSI memutuskan mengganti wasit PON dengan wasit yang berlaga di Liga 1 dan Liga 2. PSSI juga akan memberikan sanksi tegas terkait aksi pemain yang melakukan kekerasan di laga Aceh vs Sulteng.
“Kejadian ini sangat memalukan sekaligus menggambarkan perlunya reformasi dalam pemilihan wasit. Kita berharap keputusan penggantian wasit bisa membuat pertandingan menjadi lebih fair,” ucap Andreas.
Selain itu, Andrean juga meminta diadakannya penegakan aturan yang ketat dan konsisten di semua level kompetisi. Hal ini penting, jika ada tindakan kekerasan oleh pemain, ofisial atau suporter, maka harus dikenai sanksi yang tegas.
“Penegakan disiplin yang adil dan konsisten tidak hanya akan menindak pelanggaran wasit tetapi juga memberikan sinyal jelas bahwa kekerasan tidak boleh ditoleransi,” tegasnya.
Selain kontroversi wasit, masalah fasilitas juga masih menjadi sorotan dalam PON Aceh-Sumut. Tak hanya atlet, panitia pelaksana hingga juri mengeluhkan masalah konsumsi yang tidak berkualitas. Padahal biaya konsumsi untuk penyelenggaraan PON ini cukup besar karena anggarannya disebut Rp 50 ribu/kotak makan.
Andreas mengatakan, Pemerintah seolah tidak memperdulikan masalah logistik bagi atlet dan peserta PON.
“Katanya akan diperbaiki masalah konsumsi ini, tapi faktanya di lapangan masih tetap sama tidak ada perbaikan,” ucapnya.
Ia menegaskan, Pemerintah seharusnya dapat mempersiapkan lebih matang, karena PON merupakan event besar olahraga yang diadakan empat tahun sekali. Seharusnya persiapan dapat dilakukan dengan baik dan segera dilakukan perbaikan apabila ada permasalahan.
“Kesiapan seperti akses jalan ke venue, konsumsi hingga venue itu kan hal yang mendasar. Bagaimana mungkin bisa luput dari pantauan saat persiapan. Apalagi PON ini kan event reguler yang selalu dilaksanakan empat tahun sekali,” ujar Andreas.
Tak hanya soal menu makanan, beberapa keluhan dalam penyelenggaraan PON Aceh-Sumut lainnya seperti kritikan tentang akses jalan ke venue yang rusak dan tidak memadai, hingga venue yang berdebu. Bahkan ada venue tempat pelaksanaan pertandingan roboh.
Menurut Andreas kekacauan ini menjadi cerminan kurangnya koordinasi dan kolaborasi yang baik.
“Insiden-insiden seperti ini justru menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi pemerintah dan penyelenggara lokal masih lemah, serta kurangnya fokus pada standar infrastruktur yang layak,” pungkasnya.