BANDA ACEH – Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin mengkritik keras Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 hingga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 21 Tahun 2024, sebagai alasan pemerintah agar dapat melakukan tambang pasir laut.Menurutnya, kedua regulasi itu pemerintah hanya bertujuan untuk mengeruk pasir laut. Parid mengatakan pengerukan yang dilakukan pemerintah juga tanpa memperhitungkan dampak yang terjadi. “Nah, sekarang dengan adanya PP 26 yang dikeluarkan Jokowi lalu ada Permendag 21 tahun 2024 itu sebenarnya tujuannya hanya mengeruk saja, ngeruk lalu ekspor gitu,” jelas Parid saat dihubungi pada Sabtu, 21 September 2024.
Dia mengatakan, dalam dua regulasi itu tidak terdapat upaya pemerintah untuk melakukan pemulihan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir laut. Parid menganggap kegiatan penambangan itu sebagai bom waktu. “Apakah di situ disebut misalnya bagaimana agenda pemulihannya enggak ada. Nah ini yang kami khawatirkan ya yang sering kami sebut di Walhi sebagai bom waktu,” tutur dia.
Selain ada dampak kerusakan lingkungan laut, menurutnya, kerusakan juga berdampak pada sosial ekonomi masyarakat pesisir pantai khususnya nelayan. “Jadi ada kehancuran sosial ekonomi di masyarakat pesisir khususnya nelayan, kemarin kawan-kawan Walhi Sulawesi Selatan menyebutkan kerugiannya itu Rp 80 miliar lebih dari kerusakan penambangan,” kata Parid. Angka itu menurutnya baru dampak dari pertambangan selama 257 hari di Perairan Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan.
Ia khawatir kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut bakal merembet hingga aspek non-ekonomi. “Nah, yang begini bagaimana memulihkannya, ini baru yang tangible, baru aspek ekonomi, belum yang non-ekonomi kayak tadi terumbu karang, maupun ekosistem,” ujarnya.
Sementara itu, dikutip dari Koran Tempo edisi 20 Maret 2024, Parid menilai biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut, jauh lebih besar dibanding keuntungan ekonomi yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengkajian Walhi bersama tim ahli, biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut, lima kali lebih besar ketimbang pendapatannya.
Dia mengatakan, dengan asumsi harga tiap meter kubik pasir laut senilai S$ 7,5 yang merupakan harga terendah pada 2017. Sementara, kata Parid, biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan dari pengambilan 344,8 juta meter kubik pasir laut mencapai S$ 129,3 juta atau setara dengan Rp1,507 triliun per tahun.