Kenapa Polisi Persulit Ortu Tujuh Remaja Tewas di Kali Bekasi Lihat Jenazah? Melinda Sampai Sujud

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Pemandangan menyedihkan terlihat di ruang transit jenazah RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

ADVERTISEMENTS

Pasalnya, mereka para orangtua remaja yang tewas di Kali Bekasi, kesulitan untuk melihat jasad anak mereka.

Berbagai alasan dilontarkan petugas yang berjaga, yang intinya melarang.

ADVERTISEMENTS

Alhasil, perdebatan pun terjadi antara orangtua dengan petugas yang berjaga.

Ruang berukuran kurang lebih 10×6 meter itu menjadi saksi sejumlah orang dengan raut wajah sedih memohon kepada petugas untuk diperkenankan melihat langsung jenazah yang ditemukan di Kali Bekasi.

Sambil merintih menangis, seorang ibu berpakaian jaket berwarna pink terlihat memohon bahkan sampai sujud di hadapan petugas untuk melihat jenazah anaknya yang terbaring kaku di ruang es RS Polri Kramat Jati.

“Saya ibunya, mau gimana kondisi anak saya pasti saya ngenalin. Nggak mungkin saya nggak kenalin,” kata ibu berjaket pink itu kepada petugas.

“Saya cuman mau liat jenazah anak saya aja, kenapa dipersulit,” pintanya lagi sambil merintih.

“Kalau perlu saya sujud Pak, ini saya sujud. Mohon Pak,” ucap ibu itu sambil bersujud dan menangis.

Ibu itu juga melupakan kemarahannya sambil menangis. Dia memohon kepada petugas agar diizinkan melihat jenazah putra pertamanya itu. 

Diketahui, ibu yang bersujud dan memohon untuk melihat jasad anaknya adalah Melinda, ibu dari Vino Satriani (15).

Vino adalah salah satu yang diduga jenazahnya ditemukan di Kali Bekasi bersama enam jenazah lainnya.

Melinda turut meluapkan amarahnya kepada petugas yang tidak mengizinkan dirinya bersama suaminya, Maulana untuk melihat jenazah anaknya.

Bahkan, dia mengungkapkan bahwa dirinya bisa menjadi ‘gila’ (atau odgj) jika tak bisa dan mengenali lagi wajah anaknya.

Melinda juga berujar anaknya bukan seorang teroris yang tidak boleh dilihat jenazahnya.

“Saya kalau tidak diizinkan melihat anak saya, maka saya jadi gila, Pak. Emang anak saya teroris?” ujarnya dengan nada tinggi ke petugas.

Melinda pun mengaku akan membantu petugas DVI Polri untuk mengidentifikasi korban lewat pengelihatannya. Sebab, dia masih yakin bahwa anaknya pergi menggunakan kaus berwarna abu-abu serta sepatu berwarna putih ketika meninggalkan rumah pada Sabtu (21/9) lalu.

Melinda juga mengaku telah memberikan sampel DNA serta persyaratan yang diminta pihak DVI Polri untuk proses identivikasi pada Senin kemarin.

Namun, dia menyesalkan bahwa proses identifikasi berlangsung lambat dan terlalu lama.

“Saya harus nunggu berapa lama lagi ini. Keburu saya tidak bisa mengenali anak saya,” ujarnya sambil menangis. 

“Ini sudah hampir empat hari, saya cuman mau lihat anak saya,” tambahnya.

Tak hanya Melinda, adapun sepasang orang tua yang menenteng ijazah bermaps merah turut mendesak petugas memberikan izin untuk melihat jenazah yang diduga anaknya.

Sebab, sepasang suami istri ini mengaku telah mendatangi Polsek dan Polres Bekasi untuk mencari keberadaan anaknya. Namun, justru diminta ke RS Polri Kramat Jati.

“Dari Polsek disuruh ke Polres, disuruh bawa barang-barang (persyaratan identifikasi), Tapi di sini (RS Polri) enggak boleh lihat jenazah,” timpal pasangan suami istri kepada petugas.

Meski terus didesak, petugas DVI Polri yang mengenakan baju berwarna biru dongker tidak bergeming. 

Dia menjelaskan bahwa seluruh proses identifikasi sedang dilakukan oleh tim dokter. Sehingga, dia meminta kepada pihak keluarga untuk bersabar.

Mendengar itu, Melinda semakin meninggikan nada bicaranya. 

Dia pun mengeluarkan sumpah serapah kepada petugas tersebut. Maulana pun terlihat memapah istrinya, Melinda untuk keluar ruangan transit jenazah agar lebih tenang.

Di luar ruangan, Melinda kembali meluapkan kesedihannya kembali dengan menangis. Bahkan, dia sampai terlihat lemas sambil memohon untuk melihat jenazah anaknya.

“Ayah, tolongin anak kita yah. Anak kita sudah ga ada kenapa dipersulit. Anak kita sudah busuk, gimana kita mau ngenalin,” ungkap Melinda dipelukan Maulana.

Setelah ditenangkan oleh Maulana, Melinda terlihat mulai bisa mengontrol emosinya.

Dia pun berbagi kisah sedikit tentang peristiwa yang menimpa anaknya pada Sabtu malam itu. Melinda meyakini bahwa anaknya bersama puluhan rekannnya sedang kumpul-kumpul untuk minum kopi bersama.

Namun, kata dia, tiba-tiba petugas Perintis Polri datang membawa senjata laras panjang.

“Apa karena di todong senjata, namanya anak di bawah umur ketakutan. Lagi pada ngopi, tiba-tiba Tim Perintis Polri datang pakai laras panjang,” ungkap Melinda.

Hindari Bias Identifikasi

Karodokpol Pusdokkes Polri Brigjen Nyoman Eddy Purnama Wirawan menjelaskan bahwa proses identifikasi masih memerlukan data dari pihak keluarga dan kerabat.

Hal itu disampaikannya saat konferensi pers terkait penemuan tujuh jenazah di Kali Bekasi di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, Selasa (24/9/2024).

“Sehingga dalam kondisi yang sudah 1×24 jam itu kita perlu data-data lebih detail, dan itu perlu proses, waktu. Dan itulah kendala utamanya,” kata  Brigjen Nyoman.

Dia mengatakan identifikasi dilakukan dengan cermat agar data postmortem dan antemortem benar-benar cocok.

“Data-data ini harus betul-betul match, data primer dan data sekunder. Jika ada ketidaksesuaian atau belum sesuai, kita harus hati-hati. Kita mementingkan ketepatan daripada kecepatan karena identifikasi ini tidak boleh salah,” jelasnya

Exit mobile version