BANDA ACEH – Proses pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih di Jakarta berpotensi menimbulkan perdebatan hukum terkait keabsahannya.Beberapa ahli hukum menyoroti bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN), yang secara resmi memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN, pelantikan presiden seharusnya dilakukan di ibu kota baru tersebut.
Menurut prakitisi hukum, Peter Selestinus, pelantikan yang dilakukan di Jakarta dapat dianggap tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Secara konstitusional, UU IKN sudah mengatur bahwa Ibu Kota Negara sekarang adalah Nusantara.
Jika pelantikan presiden masih dilakukan di Jakarta, ini bisa menimbulkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait keabsahan proses tersebut.
Ia menjelaskan bahwa meskipun belum ada Keputusan Presiden (Kepres) yang secara teknis mengatur pelaksanaan pelantikan di IKN, prinsip dasar dalam UU tersebut sudah sah.
“Jakarta bukan lagi Daerah Khusus Ibu Kota Negara, melainkan hanya Daerah Khusus Jakarta. Seharusnya, pelantikan dilakukan di ibu kota baru, Nusantara,” jelas Petrus dalam diskusi publik di Jakarta, Jumat 27 September 2024.
Ketidakpastian Hukum dan Resiko Logistik
Ketidakjelasan mengenai peraturan pelaksanaan menjadi salah satu isu krusial.
Meskipun secara hukum UU IKN telah disahkan, belum ada aturan teknis yang secara rinci mengatur perpindahan fungsi-fungsi pemerintahan termasuk tempat pelantikan presiden.
Hal ini memicu kebingungan di kalangan masyarakat dan bahkan di antara pejabat negara.
Lebih dari itu Petrus juga menyoroti tantangan logistik dan ekonomi yang besar jika pelantikan harus dilakukan di Nusantara.
Infrastruktur di ibu kota baru tersebut belum sepenuhnya siap untuk mengakomodasi acara kenegaraan sebesar pelantikan presiden.
“Biaya dan pengamanan di IKN akan jauh lebih besar. Selain itu, persiapan untuk memindahkan seluruh anggota MPR dan DPR serta pejabat negara ke sana juga tidak mudah,” kata Petrus.
Potensi Sengketa di Mahkamah Konstitusi
Ketidakpastian ini membuka ruang bagi potensi sengketa di Mahkamah Konstitusi. Jika pelantikan tetap dilaksanakan di Jakarta, ada kemungkinan pihak-pihak yang merasa dirugikan atau tidak puas dengan proses tersebut akan membawa masalah ini ke ranah hukum.
“Meskipun UU memberikan alternatif pelantikan bisa dilakukan di hadapan MPR atau DPR, tanpa menyebutkan secara eksplisit lokasi, namun dengan adanya perubahan status ibu kota, ini bisa menjadi bahan perdebatan yang sangat panjang,” ujarnya.
Petrus menegaskan bahwa segera diperlukan peraturan pelaksana untuk memberikan kepastian hukum terkait lokasi pelantikan presiden.
Jika tidak, ketidakpastian ini dapat berlanjut hingga memicu perdebatan publik yang berkepanjangan, dan berpotensi mempengaruhi legitimasi pemerintahan Prabowo.
“Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah kejelasan hukum dan sikap tegas dari pemerintah saat ini. Jika pelantikan di Jakarta tidak sesuai dengan aturan yang ada, maka risikonya bisa sangat besar bagi legitimasi presiden terpilih,” pungkasnya.
Menanti Kepastian Pemerintah
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah terkait lokasi pelantikan presiden yang direncanakan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya sempat menyatakan bahwa segala keputusan terkait pelantikan presiden terpilih akan mengikuti aturan yang ada, namun tidak menjelaskan lebih lanjut apakah proses tersebut akan dilakukan di IKN atau masih di Jakarta.
Sementara itu, masyarakat dan Pengamat Politik terus menunggu kepastian dari pemerintah.
“Ini bukan hanya soal teknis, tetapi soal simbolisme dan kepastian hukum. Pelantikan presiden adalah momen yang sangat penting bagi negara, dan harus dilakukan dengan penuh kepatuhan terhadap aturan yang berlaku,” katanya.
Keputusan mengenai tempat pelantikan presiden ini akan menjadi isu yang sangat diperhatikan menjelang masa transisi pemerintahan.***