SEJARAH

Kisah Baratayudha dan G30SPKI

Sejak era reformasi bergulir, kalangan eks PKI dan ormas pendukungnya menyatakan pendapat. Mereka mengklaim tidak terlibat, kemudian menuduh Soeharto mengudeta Sukarno. Mereka juga menuntut ganti rugi.

Sebaiknya kita kembali ke era sebelum pemberontakan partai komunis ini terjadi. Pada 23 Mei 1965, PKI merayakan hari jadinya. Ratusan ribu massa merah menghadiri rapat umum di Senayan. Mereka unjuk kekuatan sambil bersuara dengan lantang, “Hidup PKI! … hidup PKI!”

Selain itu, aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver Politik PKI adalah memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang dikenal dengan aksi sepihak. Mereka dengan tegas menyatakan permusuhannya dengan golongan Islam.

Buktinya adalah peristiwa Kanigoro. PKI dengan terang-terangan menyerang Pesantren al–Jauhar. Mereka menginjak-injak Alquran, menendang kiai, dan menyeretnya ke pos polisi. Kiai dihina dengan sebutan setan desa.

PKI menyebut kelompok Islam yang tidak disukainya dengan antek Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Ormas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ketika itu merupakan kekuatan tangguh dianggap sebagai musuh utama. HMI dinilai PKI tak memiliki hak hidup di Indonesia sehingga harus dibubarkan.

Beberapa hari sebelum pemberontakan, tokoh PKI Anwar Sanusi menyatakan ibu pertiwi sedang hamil tua. Sang pradi atau bidan sudah siap melahirkan bayi yang lama dinanti. Bayi tersebut adalah PKI.

Dalam surat kabar waktu itu PKI mengusulkan 15 juta buruh dan tani dipersenjatai sebagai angkatan kelima. Penduduk Indonesia ketika itu 70 juta jiwa. Ini ditentang TNI. Menjelang 30 September, ada pelatihan Gerwani dan pemuda rakyat di Lubang Buaya. Alasannya untuk meningkatkan konfrontasi dengan Malaysia.

Tokoh utama PKI DN Aidit menyatakan, kalau tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik sarungan saja. Semenjak itu, muncullah gerakan ganyang HMI. Sarungan adalah ejekan terhadap Islam.

Aidit ditangkap pada 1965 di Desa Samen, sebelah barat Solo. Dia kemudian membuat pengakuan setebal 50 halaman. Bagian pentingnya dimuat dalam koran berbahasa Inggris yang terbit di Jepang, Asahi Evening News. Korespondennya bernama Risuke Hayashi.

Di Koran tersebut, Aidit menyatakan dirinya sebagai orang yang memiliki tanggung jawab tertinggi terhadap Gerakan 30 September yang menewaskan sejumlah petinggi Angkatan Darat.

Partai Komunis Indonesia (PKI) sengaja memilih 30 September sebagai tanggal kudeta. Awalnya, ada yang mengusulkan pada 5 Oktober yang bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tapi dipercepat karena rencana ini sudah bocor. Pihak Angkatan Darat dikabarkan sudah lebih dahulu mengetahui rencana kudeta yang sudah disiapkan.

Kemudian, orang kedua setelah Aidit, Lukman Njoto atau lebih dikenal dengan Nyoto, ditangkap. Koran Asahi Shimbun sempat mewawancarainya. Ketika 30 September, Nyoto mengaku sedang bersama Wakil Perdana Menteri Subandrio. Dia mendengar insiden penculikan dan pembunuhan petinggi Angkatan Darat saat melakukan kunjungan kerja ke Pangkalan Brandan, Sumatra Utara.

Mereka ingin mengajak masyarakat Sumatra untuk bergabung dalam PKI. Mereka meyakini masyarakat di sana bisa satu jalan dengan partai komunis tersebut. Mereka bahkan meyakini Sumatra akan menjadi basis PKI yang sangat besar.

Saya waktu itu sedang mengikuti rombongan kementerian pembangunan masyarakat desa. Menteri kemudian dikabari bahwa DN Aidit sudah ditembak mati. Saya dengar berita itu. Tak lama kemudian saya didatangi prajurit Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dia berpesan kepada saya agar tidak membocorkan berita tentang Aidit yang ditembak mati.

Disadur dari Harian Republika edisi 23 November 2015. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau meninggal pada 2020.

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya