Rezim Prabowo dalam Perspektif Sejarah dan Ekonomi-Politik

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

ADVERTISEMENTS

   

ADVERTISEMENTS

KETIKA sering berkunjung ke rumah almarhumah Bu Rachmawati Soekarnoputri dulu, yang akhirnya melahirkan kasus “Makar 1”, saya memberanikan diri bertanya padanya; “Mbak, kenapa Sukarno dulu bekerja sama dengan Jepang?”. Dia menjawab spontan, “karena cuma itu satu-satunya jalan untuk Indonesia merdeka.”

ADVERTISEMENTS

 

Mendapatkan informasi dengan akurasi tinggi adalah penting dalam melihat sejarah. Namun, ahli sejarah, Yuval Noah Harari mengatakan sejarah adalah “common story”, bukan sepihak.

Orang-orang perjuangan anti Jepang saat itu lebih percaya bahwa Belanda memang harus secara natural mengantarkan Indonesia merdeka dalam naungan Kerajaan Belanda, bersama Belanda, Suriname dan Curacao Antillen.

Akhirnya, sejarah dalam perspektif non Sukarno menyatakan bahwa di tangan Dr. Syahrir dkk anti Jepanglah Indonesia bisa merdeka, melalui serangkaian perundingan.

 

Perspektif sejarah juga kehilangan makna jika bobot political economy atau ekonomi-Politik (ekpol) tidak dimasukkan di dalamnya. Pertarungan perang dunia ke dua, awal momentum Indonesia merdeka, adalah perang imperialisme di mana Jerman, Italia dan Jepang berusaha mengambil alih imperium barat dan koloninya dari tangan Inggris dan Prancis.

Rebutan imperium ini, di dalam negeri Jerman dan Eropa adalah membunuh semua Yahudi, karena Hitler, dalam Mein Kampf, meyakini diaspora Yahudi adalah otak kapitalisme sekaligus Komunisme itu. Jika imperialisme harus dihancurkan, maka Yahudi harus dibasmi.

 

Secara dialektik sebenarnya Yahudi internasional dengan kekuatan dagangnya bertahun-tahun memboikot dagang dengan Jerman di era Hitler. Mereka menolak diskriminasi Hitler atas Yahudi. Namun, ini pulalah yang membuat Hitler yakin bahwa seluruh perdagangan dunia dikendalikan Yahudi.

Satu-satunya jalan adalah membangun kekuatan antara negara anti Yahudi, baik sebagai ras maupun ideologis, khususnya anti komunis.

 

Dalam perspektif ekpol ini, kita melihat sesungguhnya Hitler bersama Mussolini dan Jepang ingin menguasai kekayaan dunia. Jepang sendiri, sudah bangkit sebagai negara maju di awal abad ke 20. Di Indonesia, era 1930an, pemerintah Belanda ketika memberlakukan politik segregasi, di mana Eropa sebagai kelas satu, China, Arab dan lainnya kelas dua, serta pribumi sebagai jongos pekerja rodi, memberikan kenaikan kelas satu kepada Jepang.

 

Jepang sendiri, dalam “Nusantara”, Bernard Vlekke, pada tahun 1930 telah menguasai 30% impor barang asing di Indonesia. Bahkan, Jeanne Van Dijen, dalam “Ibu Maluku”, mengisahkan kesaksiannya bahwa pemilik-pemilik toko orang Jepang semakin meningkat menjelang perang dunia, di Ternate kala itu. Ternyata ketika Jepang masuk, pemilik toko itu adalah agen-agen pemerintah Jepang.

 

Tentang Rezim Prabowo

 

Cerita saya di atas mungkin terlalu panjang. Namun, pemahaman atas analisis historis dan ekpol sering tidak dipakai para kritikus kita. Kritikan yang muncul di publik terhadap rezim Prabowo, khususnya karena Gibran dan kabinetnya, terkesan menjadi dangkal dan emosional l, seperti mengatakan “Kabinet 90% Koruptor” oleh Hehamahua, “Kabinet Fufufafa” oleh Said Didu, “Kabinet Seken”, oleh Tere Liye, “Kabinet Bias Gender”, oleh Neno Warisman, dan lain-lain.

Kita tidak menolak fakta dari kritik tersebut, hanya tanpa analisa, kita tidak melihat peta situasinya secara utuh.

 

CNBC Indonesia dalam “Deretan Emiten Calon Menteri Wamen Prabowo, Auto-m Cuan”, 16/10, sebenarnya mulai membahas bagaimana keterkaitan ekpol yang ada. Menteri-menteri Prabowo yang dipilih secara dominan adalah mewakili entitas bisnis.

CNBC menulis beberapa grup seperti Saratoga, Mahaka, Bumi Resources, Siloam, Jonlin, dan lain-lain. Di luar yang ditulis CNBC, konglomerat baru seperti Agung Sedayu, dan Toba Sejahtera juga terlihat akan mendominasi pemerintahan Prabowo ke depan. Rizal Ramli, dahulu, sering mengkritik bahwa pemerintahan Jokowi yang dikuasai korporasi sebagai Peng-Peng alias pengusaha sekaligus penguasa.

 

Kabinet yang didominasi kalangan kapitalis tentunya secara ekpol akan mendorong perekonomian berkembang untuk kepentingan kapitalis itu sendiri. Bank-bank yang selama ini tidak ditujukan untuk mendanai UMKM dan koperasi, tentu saja akan meneruskan sistem mereka itu.

Sebab, dari sisi prinsip kaum kapitalis dan neoliberal, meminjamkan uang kepada segelintir orang kaya akan lebih menguntungkan bagi bisnis dibanding memberikan kepada sebanyak-banyaknya UMKM. Hal ini juga menjadi prinsip salah satu bank terbesar dunia, Citi Bank.

 

Ekpol dalam konteks lokal juga merupakan bagian dari pertarungan ekonomi politik global. Dominasi RRC di kawasan Asia sudah berlangsung beberapa dekade ini. Pejuang “Umbrella Movement” di Hongkong, beberapa tahun lalu, menangis karena berpikir barat, khususnya Amerika, bisa melindungi mereka dari RRC.

Satu-satunya yang masih dilindungi Amerika adalah Taiwan, karena Taiwan merupakan pemasok teknologi semikonduktor termaju di dunia saat ini. Amerika takut teknologi itu jatuh ke China. Sisanya, 70% lebih pemimpin Asean berkibar ke Peking.

 

Peking yang sudah memukul Majapahit abad ke XIV ke pedalaman, dengan mendorong munculnya kerajaan Islam di Malaka dan Pantai Utara Jawa, sekarang lebih canggih lagi dengan memakai strategi “Proxy War”. Peking membanjiri asia dengan pinjaman uang, teknologi dan perdagangan.

Pendekatan ini sudah berhasil sejak pemerintahan SBY, ketika Asean-China Trade Agreement dilakukan. Kuatnya pengaruh China di Asia dan Indonesia, tentunya, tidak mengherankan membentuk lapisan elite nasional kita yang menjadi perpanjangan kekuatan mereka.

 

Peking sendiri, didukung Rusia, berhasil memanfaatkan situasi Palestina saat ini. Dukungan terbuka China dan Rusia terhadap Palestina dan sebaliknya, dukungan Amerika terhadap Israel, membuat umat Islam Indonesia, dan tentunya dunia, melihat poros China sebagai pahlawan dunia.

Sehingga, secara politik, negara-negara Islam semakin banyak yang mesra dengan China. Ditambah kepentingan dagang, setelah China dan Rusia berhasil membangun kaukus dagang non barat, Brics, banyak negara masuk ke poros ekonomi ini.

 

Situasi di Indonesia ini tentu saja sudah dipahami elite politik kita. Prabowo Subianto pada tahun 2019, ketika memilih bersekutu dengan Jokowi, tentunya dengan kesadaran history bahwa dunia berubah. Persekutuan Prabowo harus dilakukan dengan penguasa dominan di Asia, yakni China.

Dan China belakangan ini sudah membangun jejaring di Indonesia. Strategi Prabowo tentu saja sama dengan Sukarno dalam cerita di atas di awal tadi, yakni bekerja sama. Itu juga yang membuat kunjungan Prabowo Subianto setelah menang Pilpres adalah ke China.

 

Orang-orang di Indonesia, sayangnya, terlalu percaya jargon politik bebas aktif. Politik bebas aktif itu sebenarnya hanyalah slogan Sukarno dan pemimpin dunia yang baru merdeka, yang saat itu berusaha menaikkan bargain politik mereka.

Namun, sejatinya dalam teori realisme politik, pilihan politik itu adalah tidak bebas dan tidak selalu aktif. Semua kekuatan yang lebih kecil harus tunduk pada kekuatan yang lebih besar.

 

Persoalannya Apakah itu Salah?

 

Sebagaimana sejarah Sukarno tadi di atas, untuk pendukung Sukarno tentu benar. Namun, kelompok anti Sukarno menuduhnya sebagai antek fasis, kolaborator fasis Jepang dan bahkan disebut sebagai “Mandor Romusha”. Itulah dua sisi melihat sejarah.

Bagaimana Melihat Prabowo?

 

Pertama, dalam perspektif realisme bukan ideal, maka pilihan Prabowo bersekutu dengan Jokowi, proxy RRC dan kaum kapitalis lokal adalah tepat. Tepat karena dia meyakini, mungkin, bahwa kekuasaan harus direbut terlebih dahulu. Selanjutnya pembenahan.

 

Kedua, pemilihan kabinet Prabowo, kembali dalam perspektif realisme, merupakan konsekuensi pilihan persekutuannya. Beberapa grup kapitalis seperti kelompok Haji Isam dan Mahaka, misalnya, bisa dipandang sebagai sekutu dalam perspektif “pribumi”. Istilah pribumi, mengutip pernyataan Hashim Djojohadikusumo beberapa waktu lalu, yakni akan membangun pengusaha pribumi (lihat tulisan saya, “Hashim Djojohadikusumo dan Masa Depan Pribumi di Indonesia”, RMOL, 13/10), tentu membutuhkan kaum kapitalis yang sevisi.

 

Ketiga, Prabowo berusaha menempatkan kaum idealis aktivis dalam layer kedua. Beberapa nama seperti Ferry Juliantono, Agus Jabo, Fahri Hamzah, Natalius Pigai, Immanuel Ebenezer, Budiman Sudjatmiko dan Anis Matta sebagai bagian kabinet, tentu dapat mengisi sisi progresif ideologis.

 

Di samping ketiga hal di atas, tentu saja kita percaya pada niat baik. Prabowo, seperti juga Soekarno, tentunya mempunyai sejarah sebagai orang baik. Maksudnya kehidupannya didedikasikan pada kepentingan rakyat.

Pertarungan niat baik atau subjektif seseorang dengan kondisi objektivitas bisa saja dimenangkan niat tersebut. Gorbachev di Rusia misalnya, berhasil membubarkan Komunisme, karena subjektifnya sendiri.

Penutup

Rezim Prabowo Subianto dalam perspektif sejarah, dan ekonomi-politik telah memilih jalan realistik. Kompromi Prabowo dengan kekuatan kapitalis, neoliberal, dan oligarki lokal merupakan konsekuensi situasi objektif saat ini. Saya telah menerangkan dominasi Peking di Asia dan dominasi kaum kapitalis di Indonesia saat ini.

Ruang politik bagi Prabowo dalam membangun dalam perspektif idealis masih jauh dari harapan. Namun, kita tetap melihat bahwa Prabowo tetap berusaha membangun bangsa kita untuk lebih baik ke depan.

 

Bagi kaum aktivis oposisi, seperti kita, adalah memperkuat terus kesadaran rakyat. Kesadaran itu terkait dengan kerangka normatif berbangsa dan bernegara, kesadaran rakyat harus berdaulat dan kesadaran rakyat untuk menjadi subjek dalam pembangunan.

Jika demokrasi dan kebebasan berpendapat terus membesar, maka kaum oposisi bisa menyumbangkan pemikiran dan gagasan konstruktif bagi rezim Prabowo kelak. 

(Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle)

Exit mobile version