Kilas Balik Hubungan Prabowo, PSI, dan Masyumi

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

image_pdfimage_print

 OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH

ADVERTISEMENTS
ad39

   

ADVERTISEMENTS

Prabowo Subianto Sumitro Djojohadikusumo. Demikianlah nama lengkap Presiden Indonesia Terpilih 2024-2029. Nama besar keluarga Djojohadikusumo telah melegenda dalam bidang ekonomi dan Politik.

ADVERTISEMENTS

Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai ekonom dan Direktur Bank Indonesia pertama. Anaknya, Sumitro, merupakan ekonom dan politisi Indonesia yang terkenal dengan prestasinya.

ADVERTISEMENTS

Dari garis keturunan ini, lahir Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, dan keluarga besar intelektual, pengusaha dan politisi Indonesia. Keluarga besar yang mampu melakukan kaderisasi politik dan ekonomi yang cukup gemilang. Meskipun dalam sejarahnya terdapat kontroversi dan pelbagai pujian.

ADVERTISEMENTS

Mereka telah mengisi sejarah republik ini dengan prestasi. Jejaknya tidak oportunis, melainkan menjadi “makers” dalam bidangnya. Karena mereka sebagai “playmaker” dan dalam hal tertentu sebagai “king maker”, maka kontroversi tidak mungkin dapat dihindari.

ADVERTISEMENTS

Sumitro Djojohadikusumo sebagai politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI), pernah ikut terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dari PRRI itulah Prof. Sumitro menjadi lebih dekat lagi dengan pemimpin politik dari Masyumi.

Kedekatan itu pula yang membuat mereka sama-sama masuk hutan dan bergerilya ke pedalaman Sumatera karena keadaan Jakarta yang tidak memberikan keamanan kepada mereka – seperti ancaman dan teror yang dilakukan oleh PKI.

Ketika berdiri pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-PRRI (1958-1961), Masyumi dan PSI adalah dua partai yang konsisten melakukan perlawanan politik terhadap kebijakan Pusat, yang menurut mereka sangat jawa-sentris dan sangat mesra dengan PKI.

Dalam perjuangan untuk mewujudkan desentralisasi dengan PRRI itu, Prof. Sumitro diberi tugas untuk melakukan upaya keluar negeri dengan menggalakkan dukungan moril maupun materil untuk PRRI di luar negeri.

Sementara tokoh-tokoh Masyumi yang diwakili oleh Sjafruddin Prawiranegara, Natsir dkk bersama tokoh-tokoh militer daerah melakukan perjuangan dalam negeri.

PRRI merupakan aspirasi perwira menengah dan tokoh-tokoh politik Indonesia yang tidak puas dengan kebijakan Bung Karno. Ketidakpuasan itu melipatgandakan kekecewaan di daerah-daerah.

Ketidakpuasan itu mendorong Kolonel Ahmad Husein pada 20 Desember 1956, mengambil alih pemerintah sipil di Sumatera Tengah. Disusul Kolonel Simbolon melakukan tindakan serupa di Sumatera Utara, ia mengambil alih kekuasaan sipil dan menyatakan keadaan darurat berlaku di seluruh wilayahnya.

Dua hari kemudian, Barlian melakukan kontrol politis terhadap pemerintah sipil di Sumatera Selatan. Pada 15 Januari 1957, Barlian dan Alamsjah membentuk Dewan Garuda, yang praksis berkuasa di Sumatera Selatan.

Tindakan serupa juga terjadi di Sulawesi. Tokoh-tokoh Militer seperti Ventje Sumual, D. Somba, Saleh Lahade dan lain-lain segera membentuk dewan-dewan serupa di Sulawesi.

Pada 2 Maret 1957, Saleh Lahade membacakan Piagam Perjuangan Semesta, yang mengandung tuntutan kepada pusat, dan kejadian ini adalah awal berdirinya Permesta.

Sebelumnya, pada 1 Desember 1956, Wakil Presiden Moh. Hatta mengundurkan diri karena perbedaan pandangan dengan Soekarno yang lebih mesra dengan komunis.

Pengunduran diri Hatta ini melipatgandakan ketidakpuasan daerah-daerah kepada pusat. Banyak orang di luar Jawa, terutama Sumatera menganggap sosok Hatta sebagai wakil mereka.

Aksi saling tuduh menuduh dalam diri militer tentang “antek Jawa” pun muncul seperti tuduhan Simbolon dan Zulkifli Lubis kepada Jenderal Nasution yang menjadi “antek” Soekarno dan Ali Sastroamidjojo.

Ketidakpuasan inilah yang akhirnya melahirkan pertemuan perwira di Sumatera dan melahirkan Dewan Banteng pada 20-24 November 1956. Pada 9 Januari 1957, Masyumi menarik menterinya dari Kabinet karena perbedaan pandangan dengan Soekarno.

Dalam situasi politik yang suram, di Padang diadakan pertemuan tokoh-tokoh sipil dan militer. Pada 10 Februari 1958, para tokoh itu membentuk Dewan Perjuangan. Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum kepada pusat untuk segera mengindahkan tuntutan dalam waktu lima hari setelah dibacakan oleh Ketua Dewan Perjuangan Kolonel Ahmad Husein melalui RRI Padang.

Inti ultimatum mereka, dalam waktu lima hari, Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada presiden, dan dibentuk kabinet baru di bawah Hatta dan Hamengkubuwono IX, sebagai tokoh yang dapat diterima oleh semua pihak.

Kemudian meminta kepada Presiden Soekarno untuk menaati Konstitusi, baik dalam kata maupun perbuatan. Apabila tuntutan itu tidak diindahkan, maka mereka berhak untuk tidak taat kepada Presiden Soekarno, dan itu menjadi tanggung jawab Soekarno sendiri. Setelah 5 hari pembacaan ultimatum Dewan Perjuangan berdirilah PRRI.

Kolaborasi antara perwira menengah daerah dengan kedua partai anti-PKI itu membuat Pemerintahan Soekarno kewalahan menghadapinya. PRRI bukan negara tandingan, melainkan pemerintahan oposisi (tandingan) yang ingin meluruskan kebijakan Soekarno yang keliru.

Setelah PRRI gagal, Sumitro tidak pulang sampai tahun 1967, setelah Soeharto menjadi presiden. Kemudian Sumitro menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, dan belakangan sebagai Menteri Riset.

Kedekatan antara ayahnya dengan tokoh Islam, menginspirasi Prabowo secara pribadi, sejak beliau menjadi tentara hingga hari ini. Tidak mengherankan, Prabowo lebih banyak mendapatkan dukungan tokoh-tokoh Islam dalam kontestasi politik.

Dalam anggapan tertentu, Prabowo dianggap sebagai tentara hijau (simbol melekat bagi tentara yang dekat dengan Islam). Prabowo ada di antara kalangan Nasionalis, Islam, dan Sosialis.

Secara ideologis, Prabowo menganut paham politik kerakyatan (cenderung Sosialis). Meski pendekatan politiknya Sosialis, Prabowo adalah jenderal Nasionalis yang agamis. Karena itu dia selalu menyebut dirinya dan partainya (Gerindra) sebagai Partai Nasionalis-Religius.

Dari perspektif itu, dia mengadopsi pandangan Partai Sosialis Indonesia. Namun secara politik dia memiliki kedekatan secara ideologis dengan partai Islam, terutama menghubungkan pandangan politiknya dengan mengadopsi PSI dan Masyumi.

Kedua partai legenda masa lalu itu juga memiliki konsep ekonomi kerakyatan yang konstitusional.

PSI anti-komunis, dengan kebijakan ekonomi dan politik sosialis yang lengkap. Masyumi pun sama, anti terhadap komunisme dan memiliki pandangan ekonomi dan politik Islam yang komprehensif.

Dalam perspektif ekonomi, kedua partai tersebut anti terhadap ekonomi kapitalisme, tetapi juga tidak menganut ideologi ekonomi komunisme. Namun, mengambil jalan tengah di antara dua varian ideologi ekonomi itu, yaitu ekonomi kerakyatan.

PSI dan Masyumi: Kebijakan Sosialisme-Nasionalis-Islam

Kedekatan antara PSI dan Masyumi bukan hanya dari sikap oposisinya terhadap Pemerintahan Soekarno. Secara politik kedekatan itu terjalin begitu lama. Ketika NKRI kembali diproklamasikan pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno menunjuk Natsir (Masyumi) sebagai Formatur Kabinet atas konsepnya tentang Mosi Integral yang mengembalikan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi NKRI.

Dalam Kabinet Natsir itu, Prof. Sumitro sebagai perwakilan PSI menjabat Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Prof. Sumitro meluncurkan Program Urgensi Industrialisasi.

Di mata Prof Sumitro, industrialisasi tidak sekadar tahapan transformasi dari ketergantungan pada sektor pertanian dan perdagangan komoditas, melainkan juga untuk menumbuhkan kelas menengah yang tangguh.

Belakangan, Prof Sumitro mengakui bahwa pandangannya yang terkesan ingin melompat tidak bisa dipaksakan. Dalam polemiknya dengan Sjafruddin Prawiranegara (Masyumi), Prof Sumitro mengakui bahwa pemikiran Sjafruddin yang betul.

“Untuk membangun perekonomian Indonesia, kita tidak bisa langsung melompat, melainkan harus dimulai dari desa dan pertanian dulu.” (Edi Sudrajat: Pemikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara, 1945-1983).

Pengakuannya atas pandangan Sjafruddin Prawiranegara ini mendorong Prof Sumitro lebih peduli kepada nasib rakyat kebanyakan yang mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian. Kebanyakan negara berkembang kerap menderita akibat fluktuasi harga komoditas.

Sjafruddin mengutarakan ide Swasembada Pangan, Indonesiasi, Menekan Inflasi dan Anggaran Berimbang.

Sekalipun pemikiran Sjafruddin waktu itu dianggap kontroversial dan mendapat banyak serangan, termasuk Prof. Sumitro karena bertentangan dengan para pemikir lainnya, namun di kemudian hari pemikiran Sjafruddin diakui sebagai ide cemerlang.

Tidak heran bila pemikiran ekonomi Sjafruddin menjadi dasar-dasar sistem ekonomi Orde Baru. Dengan demikian, kata Sudrajat, sesungguhnya sistem ekonomi Orde Baru bukan berasal dari Berkeley Mafia yang berada di Bappenas, tetapi berasal dari hasil pemikiran eklektis dari Sjafruddin, Hatta dan Sumitro.

Selain dari pemikirannya mengenai strategi pembangunan ekonomi Indonesia, Sjafruddin juga menghasilkan pemikiran mengenai sistem ekonomi Islam.

Faisal Basri yang baru-baru ini meninggalkan kita sangat mengidolakan pandangan Prof. Sumitro tentang teori Ekonomi Konjungtur (Faisal Basri: 2017).

Menurut Faisal, Prof. Sumitro begitu peduli terhadap nasib rakyat. Teori Konjungtur Prof. Sumitro tidak hanya melihat persoalan pada sisi ekonomi saja, tetapi melihat berbagai kontradiksi sosial, politik, ekonomi, dan ideologi yang terjadi di masyarakat bertemu dan memberikan bentuk yang spesifik dan khas.

Seperti Sjafruddin Prawiranegara, pandangan ekonomi Prof. Sumitro tidak terlepas dari konsep politik, ekonomi, ideologi dan sosial.

Dalam hal ini pandangan Prof Sumitro menganut paham sosialis-nasionalis atau sosialisme-negara, yang berbeda dengan pendiri PSI, Sjahrir, yang menganut paham atau varian sosialisme-liberal, bersifat pragmatis sehingga terkesan Neo-Keynesian. Prof. Sumitro dapat dikatakan sebagai seorang tokoh ekonom Sosialis-nasionalis.

Ide Prabowo tentang Ekonomi

Konsep mengenai ekonomi Kerakyatan yang telah dibangun oleh Prof. Sumitro, Pak Sjafruddin, Sjahrir dan Bung Hatta adalah konsep ekonomi konstitusional. Ekonomi Konstitusional itu adalah ekonomi yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 33 UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada Negara untuk membangun ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi dengan prinsip keadilan dan berkelanjutan yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam Sarasehan 100 Ekonom 2023 yang diadakan CNBC Indonesia di Jakarta, Rabu (8/11/2023), Prabowo Subianto menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 merupakan blueprint ekonomi Indonesia.

“Kalau kita bicara masalah ekonomi, Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas. Pasal 33 adalah perintah Undang-Undang Dasar. Pasal 33 adalah blueprint ekonomi Indonesia,” kata Prabowo.

Dalam beberapa kesempatan, Prabowo meyakini, para pendiri bangsa Indonesia merancang sistem ekonomi bukan berdasarkan kapitalisme neoliberal sebagaimana sejumlah negara di Dunia Barat.

Bahkan, sistem kapitalisme neoliberal disebut sudah tak laku lagi karena tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat luas. Dia beranggapan bahwa negara-negara dengan perkembangan ekonomi sangat pesat memiliki pasal serupa Pasal 33 UUD 1945.

Dengan demikian, cara Indonesia untuk mencapai kemakmuran ialah kembali kepada ekonomi Pancasila yang merupakan gabungan antara ide-ide baik dari kapitalisme dan sosialisme atau jalan tengah.

Prabowo mengaku bahwa Partai Gerindra yang didirikannya adalah Nasionalis-Religius. Sebuah ungkapan sederhana, tetapi memiliki klasifikasi ideologis.

Sebagai partai Nasionalis-Religius, Gerindra memang tidak terlalu menonjol secara ideologis. Prabowo sebagai tokoh sentral partai itu mengklasifikasi dirinya sebagai seorang Nasionalis.

Klasifikasi Nasionalis, dalam banyak kesempatan, selalu sebangun dengan konsep sosialis. Prabowo selalu anti-terhadap ekonomi kapitalis-neoliberal.

Secara ekonomi, Prabowo adalah seorang sosialis, meskipun selalu menekankan pandangannya pada prinsip ekonomi Pancasila. Pandangan ekonominya sangat ideologis memiliki pandangan keberlanjutan.

Namun secara politik sistem ekonomi sosialisme sangat “terpimpin”. Pemerintah mengatur langsung kegiatan ekonomi. Dan itu juga yang dikehendaki oleh Pasal 33 ayat (2), Negara berwenang untuk menguasai cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Penguasaan ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban negara, seperti ketersediaan yang cukup, distribusi merata, dan harga terjangkau.

Namun untuk mewujudkan ekonomi konstitusional itu, Prabowo berpandangan, kekuasaan harus dipegang. Maka tidak mengherankan, misalnya, kalau selama 10 tahun Prabowo beroposisi untuk mencapai tujuan politiknya, yaitu menjadi presiden, sehingga dapat mewujudkan ideologi politik dan ekonominya.

Dalam politik, Prabowo adalah salah satu jenderal yang memiliki jiwa Demokrat. Pergaulannya di elite cukup kuat, baik di kalangan internasional maupun dalam negeri.

Dan konsepnya tentang pembangunan dapat disebut sebagai konsep pembangunan yang komprehensif, baik dari sistem ekonomi, politik, pemberantasan korupsi dan keadilan sosial.

Selain konsep politik dan ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas, Prabowo juga memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh Islam dan Islam itu sendiri. Sebagai seorang yang beragama Islam, Prabowo adalah satu satu dari 100 tokoh Islam berpengaruh di dunia.

Namun, hubungan dengan Islam bukan sekadar hubungan biasa, tetapi memiliki akar sejarah politik dan ideologis. Sebagaimana diungkapkan di muka pembahasan ini, keluarga Djojohadikusumo memiliki kedekatan erat dengan keluarga besar masyumi.

Kedekatan itu telah dibangun oleh Prof. Sumitro semenjak era orde lama dan dilanjutkan oleh Prabowo.

Kedekatan itulah yang secara ideologis membuat Prabowo tidak dapat terlepas dari politik Islam sebagaimana dalam ungkapannya “nasionalisme-religius”.

Maka besar harapan, kebijakan Prabowo ke depan menjalankan ekonomi kerakyatan dengan memperhatikan hajat hidup rakyat banyak sebagaimana yang menjadi cita-cita nasional Indonesia. 

(Penulis adalah Ketua Umum Partai Masyumi)

Exit mobile version