Gelar Crisis Management Exercise, Pemerintah Aceh Apresiasi Konsulat Amerika

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Pemerintah Aceh mengapresiasi Konsulat Amerika Serikat yang telah menginisiasi penyelenggaraan Crisis Management Exercise, yang diselenggarakan dalam rangka peringatan 20 tahun tsunami Aceh.

ADVERTISEMENTS

Hal tersebut disampaikan oleh Plh Asisten Pemerintahan, Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Aceh Syakir, saat membacakan sambutan Pj Gubernur Aceh, pada acara Crisis Management Exercise Dalam Rangka Memperingati 20 Tahun Tsunami Aceh, di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (USK), Selasa (29/10/2024).

ADVERTISEMENTS

“Kami sangat mengapresiasi inisiatif Konsulat Amerika Serikat, Universitas Syiah Kuala, dan BPBA yang telah merancang pelatihan ini. Keterlibatan Mr. Michael Jack sebagai ahli manajemen krisis dari Foreign Service Institute, tentu memberikan perspektif baru dan praktik terbaik internasional yang dapat memperkaya pengalaman kita,” ujar Syakir.

ADVERTISEMENTS

“Penyelenggaraan Crisis Management Exercise dalam rangka 20 tahun tsunami Aceh ini merupakan momentum yang sangat tepat dan strategis. Latihan manajemen krisis ini bukan sekadar seremoni peringatan, tetapi merupakan bagian penting dari upaya berkelanjutan untuk memastikan kesiapsiagaan kita menghadapi bencana,” imbuh Syakir.

ADVERTISEMENTS

Sebagaimana diketahui, 20 tahun telah berlalu sejak gelombang dahsyat menerjang pesisir Aceh pada pagi Minggu 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan 9,3 SR yang diikuti tsunami telah mengubah lanskap kehidupan kita selamanya. Lebih dari 170 ribu nyawa melayang, ratusan ribu rumah hancur, dan infrastruktur vital luluh lantak.

ADVERTISEMENTS

“Namun, di balik kehancuran itu, kita menyaksikan sebuah mukjizat kemanusiaan yang luar biasa, solidaritas global yang mengalir tanpa henti ke Serambi Mekkah. Amerika Serikat, melalui pemimpin dan rakyatnya, tampil sebagai salah satu negara terdepan dalam memberikan bantuan kemanusiaan. Kami masih ingat dengan jelas bagaimana USAID dan berbagai lembaga Amerika lainnya bergerak cepat mengirimkan bantuan. Bantuan ini adalah wujud nyata kepedulian yang telah menyelamatkan ribuan nyawa dan membantu Aceh bangkit kembali,” kata Syakir.

Tak hanya Amerik Serikat, solidaritas serupa juga ditunjukkan oleh Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, komunitas ASEAN, serta berbagai organ PBB seperti UNDP, UNICEF, WHO, dan WFP. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia turut mengambil peran vital dalam pembiayaan rekonstruksi.

Selain itu, Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, bersama ratusan NGO internasional, bekerja tanpa kenal lelah di lapangan. Melalui Multi-Donor Fund, lebih dari 7 miliar dollar AS bantuan internasional dikelola dengan penuh akuntabilitas untuk membangun kembali Aceh yang lebih baik.

“Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias yang dibentuk oleh Pemerintah pada saat itu, bertugas untuk memastikan setiap bantuan tepat sasaran. Dalam waktu empat tahun, lebih dari 140 ribu rumah baru berdiri, 1.700 sekolah kembali beroperasi, 363 kilometer jalan terbentang, 13 pelabuhan laut dan 8 bandar udara dipulihkan. Ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan juga sebuah wujud dari tekad baja masyarakat Aceh untuk bangkit dari keterpurukan,” ungkap Syakir.

Kini, sambung Syakir, dua dekade pasca tsunami telah mengubah wajah Aceh tidak hanya dalam hal infrastruktur, tetapi juga dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana. Hari ini, Aceh telah memiliki Pusat Peringatan Dini Tsunami yang beroperasi 24 jam, dilengkapi dengan jaringan buoy tsunami, seismograf, dan tide gauge yang tersebar di sepanjang pesisir. Sistem ini terhubung langsung dengan BMKG dan pusat peringatan tsunami internasional, memastikan informasi bencana dapat diterima dalam hitungan menit.

“Sementara itu, di sepanjang pesisir Aceh, lebih dari 50 escape building telah dibangun dengan standar tahan gempa dan tsunami. Ratusan kilometer jalur evakuasi telah dirancang dengan cermat, dilengkapi rambu-rambu yang jelas dan titik kumpul yang aman. Yang lebih membanggakan, masyarakat kita secara rutin melakukan simulasi evakuasi, memastikan setiap warga tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana mengancam,” kata Syakir.

Bahkan, pendidikan kebencanaan kini juga telah menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah di Aceh. Lebih dari seribu sekolah siaga bencana telah dibentuk, di mana anak-anak tidak hanya belajar tentang karakteristik bencana, tetapi juga praktik penyelamatan diri dan pertolongan pertama. Para guru dilatih secara berkala, dan setiap sekolah memiliki rencana kontingensi yang jelas.

Sedangkan di tingkat komunitas, Pemerintah Aceh telah membentuk 500 Gampong Siaga Bencana yang dilengkapi dengan tim tanggap darurat terlatih. Setiap gampong memiliki peta risiko, jalur evakuasi, dan prosedur tetap penanganan bencana. Forum Pengurangan Risiko Bencana yang beranggotakan berbagai elemen masyarakat aktif melakukan kajian risiko dan merencanakan program-program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.

Namun, Syakir mengingatkan, bahwa pencapaian bukan merupakan akhir dari perjalanan atau puncak membangun kesiapsagaan di tengah masyarakat, karena perubahan iklim global membawa tantangan baru dalam bentuk peningkatan frekuensi dan intensitas bencana.

“Urbanisasi yang pesat menuntut kita untuk terus memperbarui strategi mitigasi dan evakuasi.Teknologi yang berkembang pesat membuka peluang sekaligus tantangan dalam sistem peringatan dini dan manajemen bencana. Ke depan, kita berharap dapat memperkuat kerja sama internasional dalam pengembangan teknologi deteksi dini dan sistem informasi bencana,” kata Syakir.

Selain itu, sambung Syakir, kita juga perlu meningkatkan kapasitas penelitian dan pengembangan di bidang kebencanaan, khususnya melalui kolaborasi dengan institusi pendidikan dan lembaga riset internasional. Pelatihan Crisis Management Exercise hari ini adalah langkah penting dalam mewujudkan harapan tersebut.

“Kita juga berkomitmen untuk berbagi pengalaman dan pembelajaran dengan wilayah lain yang memiliki risiko bencana serupa. Kita telah membuktikan bahwa dari puing kehancuran, sebuah sistem ketahanan bencana yang tangguh dapat dibangun. Pengalaman ini adalah aset berharga yang dapat membantu komunitas lain mempersiapkan diri menghadapi bencana,” pungkas Syakir. []

Exit mobile version