.notice-error, div.error { display: none; }
Jumat, 22/11/2024 - 22:01 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

LIFESTYLE

Fenomena Kumpul Kebo Ramai di RI, Ini Wilayah Paling Banyak

image_pdfimage_print

BANDA ACEH – Makin banyak pasangan muda-mudi di Indonesia yang hidup bersama tanpa ada ikatan pernikahan. Fenomena ini kerap diistilahkan ‘kumpul kepo’.Melansir The Conversation dalam pemberitaannya, salah satu penyebab utama para anak muda memutuskan untuk melakukan kohabitasi tanpa terikat pernikahan adalah pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan.

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM di Rumah, Action Mobile di Tangan

Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit. Sebagai gantinya, mereka memandang ‘kumpul kebo’ sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta.

ADVERTISEMENTS
Bank Aceh Syariah Mengucapkan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024

Fenomena ‘kumpul kebo’ memang sudah jadi hal lumrah di Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia baru. Namun, di Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, ‘kumpul kebo’ masih menjadi hal tabu.

ADVERTISEMENTS
Memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda dari Bank Aceh Syariah

Jikapun terjadi, ‘kumpul kebo’ biasanya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.

ADVERTISEMENTS
Selamat & Sukses atas Pelantikan Ketua DPRA, Wakil Ketua I DPRA dan Wakil Ketua II DPRA

Di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa ‘kumpul kebo’ lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Berita Lainnya:
Pakistan Geger, Ledakan Bom Bunuh Diri di Stasiun Kereta Api, 26 Orang Tewas
ADVERTISEMENTS
Pertemuan Tahunan Perbankan Syariah 2024

Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk ‘kumpul kebo’ bersama pasangan.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hari Santri Nasional

Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.

“Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda, dikutip Sabtu (2/11/2024).

“Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.

Dampak Kumpul Kebo

Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat ‘kumpul kebo’ adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.

Berita Lainnya:
Rumah Mewah 4 Lantai Zarof Ricar di Bilangan Senayan, Tempat Bekas PNS MA Simpan Uang Rp 1 Triliun

“Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” terang Yulinda.

Sementara itu dari segi kesehatan, ‘kumpul kebo’ dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.

Menurut data PK21, sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.

“Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status “anak haram”, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” kata Yulinda.

“Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” ia menuturkan.


Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi