Rabu, 06/11/2024 - 22:56 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan 3 Pj Bupati dan Pj Walikota di Provinsi Aceh
NASIONAL
NASIONAL

Mantan Ketua MK Angkat Suara : Putusan PK Mardani H Maming, Cerminan Kekuasaan Kehakiman yang Terkikis New

image_pdfimage_print

BANDA ACEH, Jakarta – Putusan Peninjauan Kembali (PK) perkara Mardani H Maming ke Mahkamah Agung (MA) yang baru saja keluar, menurut Mantan Ketua mahkamah konstitusi (MK) Hamdan Zoelva masih jauh dari kata ideal.  Putusan PK tersebut, hukuman Mardani H Maming berkurang dari 12 tahun menjadi 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan. Mantan ketua MK periode 2013-2015 ini, menilai putusan tersebut masih jauh dari ideal, Sebab, jika dicermati lebih detil lagi, putusan tingkat pertama sampai dengan kasasi jelas mengandung beberapa kesalahan penerapan hukum, kekhilafan, dan pertentangan antar putusan.

ADVERTISEMENTS
Memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda dari Bank Aceh Syariah

Hamdan Zoelva mencatat ada sebanyak tiga pertentangan dalam putusan tersebut, diantaranya terkait kesahalan penerapan hukum, ketentuan Pasal 93 UU No. 4/2009 tentang Minerba yang dikonstruksikan dalam dakwaan dan tuntutan sebenarnya tidak bisa diterapkan dalam ini perkara ini.

ADVERTISEMENTS
Selamat & Sukses atas Pelantikan Ketua DPRA, Wakil Ketua I DPRA dan Wakil Ketua II DPRA

Sebab subyek pelaku dalam Pasal 93 tersebut adalah pelaku usaha atau pemegang IUP bukan Bupati. Selain itu, berdasarkan fakta hukum dalam persidangan KTUN berupa IUP-OP Nomor 545/103/IUP-OP/D.PE/2010 yang diterbitkan oleh Mardani Maming, sampai dengan saat ini sah secara hukum, belum ada pembatalan dari peradilan manapun.

Berita Lainnya:
Kasus Perceraian Baim-Paula Disebut Karma karena Sering Buat Konten Prank, Pengacara Pilih Bungkam
ADVERTISEMENTS
Pertemuan Tahunan Perbankan Syariah 2024

“Terhadap keputusan yang sah itu dalam hukum admistrasi negara melekat asas “het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa” (asas praduga rectmatig) yang berarti setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara itu dianggap sah, sampai dibuktikan sebaliknya melalui Upaya Administratif atau Peradilan Tata Usaha Negara,” ujarnya melalui keterangan resmi.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hari Santri Nasional

Ia juga mencatat adanya kekhilafan terkait dengan delik menerima suap berupa ketiadaan pembuktian terjadinya meeting of mind antara Pihak Pemberi dengan Penerima (Mardani H Maming) terhadap unsur “menerima hadiah” dalam Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Mengingat suap tidak akan terjadi tanpa adanya kesamaan kehendak.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Santri Nasional 2024 dari BPPA

Lalu, ada pertentangan antara Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Putusan Pengadilan Niaga. Letak pertentangan putusannya adalah bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mardani H Maming dinyatakan terbukti menerima “hadiah” dalam bentuk dividen dan fee dari PT. ATU dan PT. PCN kepada PT. TSP dan PT. PAR. 

Namun  sebaliknya berdasarkan berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga terbukti bahwa  pemberian uang oleh PT. PCN semata-mata akibat adanya hubungan bisnis antara PT. PT. PCN dengan PT. TSP dan PT. PAR.

Berita Lainnya:
Yusril Soal RUU Perampasan Aset: Kapan DPR Akan Bahas Hal Ini?

“Pertentangan putusan ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mengaitkan dua peristiwa dengan tempus dan latar belakang berbeda adalah sesat logika,” ujarnya.

Ia juga menilai, terdapat indikasi pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas seperti, pertimbangan Majelis Hakim hanya didasarkan pada keterangan satu saksi, sehingga melanggar asas unus testis nulus testis, pertimbangan hukum hanya didasarkan pada testimonium de auditu dan dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi perkara ini, sejumlah fakta seolah dikontruksikan menjadi circumtantial evidence, padahal tidak singkron satu dengan yang lain.

“padahal impartial judiciary dalam paham negara hukum merupakan suatu keharusan. Jadi, kejanggalan dalam kasus ini seharusnya dapat dilihat oleh Majelis Hakim dalam kacamata yang jernih dan obyektif tanpa ada intervensi dari pihak manapun -itulah esensi kemerdekaan kekuasan kehakiman, sehingga keadilan bisa benar-benar ditegakkan selurus-lulrusnya bagi para pencari keadilan,” tuturnya. []


Reaksi & Komentar

وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ لَوْلَا يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِينَا آيَةٌ ۗ كَذَٰلِكَ قَالَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّثْلَ قَوْلِهِمْ ۘ تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ ۗ قَدْ بَيَّنَّا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ البقرة [118] Listen
Those who do not know say, "Why does Allah not speak to us or there come to us a sign?" Thus spoke those before them like their words. Their hearts resemble each other. We have shown clearly the signs to a people who are certain [in faith]. Al-Baqarah ( The Cow ) [118] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi