Ironi Pahit: Puluhan Ribu Polisi dan Tentara Terlibat Judi Online

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – “AIR beriak tanda tak dalam.” Pepatah ini mengingatkan kita bahwa sering kali masalah yang tampak di permukaan hanyalah gejala dari permasalahan yang lebih besar dan sangat kompleks.Dalam dunia yang semakin terhubung, fenomena judi online di tengah masyarakat telah menunjukkan riak-riak yang sangat mengkhawatirkan.

Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada puluhan ribu anggota TNI dan Polri yang terlibat perjudian online.

Ketika institusi yang seharusnya menjaga keamanan dan keadilan justru terjerat dalam praktik ilegal, kita dihadapkan pada kenyataan pahit, integritas dan kepercayaan publik sedang terancam.

Dengan lebih dari 1,9 juta pegawai swasta, bahkan anak-anak yang ikut terpengaruh, jelas bahwa judi online bukan hanya sekadar masalah individu, melainkan ancaman serius bagi tatanan sosial kita.

Dalam dialog di acara Sapa Indonesia Pagi yang ditayangkan di Kompas TV pada Kamis (7/11/2024), Koordinator Kelompok Humas PPATK, Natsir Kongah, mengungkapkan informasi yang sangat mengejutkan dan sekaligus mengkhawatirkan.

Ada sekitar 97.000 anggota TNI dan Polri terlibat dalam aktivitas judi online. Angka ini menambah daftar panjang keprihatinan terkait fenomena judi online yang semakin marak di Indonesia, melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari pegawai swasta hingga pejabat negara.

Secara tegas, tindakan perjudian ini dilarang dalam Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU ITE.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik berkaitan dengan perjudian dapat dikenakan sanksi hukum.

Lebih jauh, istilah dalam pasal ini menegaskan bahwa “mendistribusikan” berarti menyebarkan informasi kepada banyak orang, sedangkan “mentransmisikan” merujuk pada pengiriman informasi kepada pihak tertentu.

Tak kalah penting, “membuat dapat diakses” mencakup semua tindakan yang memungkinkan publik untuk mengetahui konten perjudian, termasuk penawaran dan kesempatan bermain judi.

Namun, realitas yang ada di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks. Keterlibatan sekitar 97.000 anggota TNI dan Polri dalam arena judi online menciptakan ironi yang mencolok.

Institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum justru terjerat dalam praktik ilegal yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar pada masyarakat: Jika aparat penegak hukum saja tidak mampu menjaga integritas dan mematuhi hukum yang ada, bagaimana mungkin masyarakat dapat percaya pada sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka?

Risiko bagi mereka yang terlibat sangat besar. Pelanggar Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 dapat dikenakan pidana penjara hingga 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 10 miliar, sebuah konsekuensi yang seharusnya menjadi pengingat bagi setiap individu, termasuk anggota TNI dan Polri.

Dalam konteks ini, kita juga harus bertanya: Apakah kita akan membiarkan riak-riak kecil ini terus berkembang, atau kita akan mengambil tindakan untuk menggali ke dalam dan mengatasi akar permasalahannya?

Keterlibatan anggota TNI dan Polri dalam judi online mengindikasikan adanya permasalahan yang lebih mendalam dalam institusi tersebut. Beberapa faktor, seperti tekanan finansial, minimnya pengawasan, dan budaya permisif, mungkin menjadi salah satu penyebabnya.

Ketika lembaga penegak hukum gagal menjaga integritas para anggotanya, penegakan hukum pun akan menjadi sulit dilakukan secara efektif.

Masalah ini bukan hanya bersifat individu, melainkan juga mencerminkan kelemahan sistem yang perlu segera ditangani.

Data yang disampaikan oleh PPATK menunjukkan bahwa kecanduan judi online bukan hanya masalah individu, melainkan fenomena sosial yang luas. Selain anggota TNI-Polri, terdapat 1,9 juta pegawai swasta yang juga teridentifikasi sebagai pemain judi online.

Dalam konteks ini, kita melihat adanya potensi ancaman terhadap integritas institusi negara. Jika para penegak hukum dan aparat keamanan terlibat dalam praktik ilegal ini, bagaimana mungkin mereka bisa diharapkan untuk memberantasnya? Pemberantasan judi online hanya sekedar omon-omon belaka.

Keterlibatan 461 pejabat negara dalam judi online semakin memperumit permasalahan yang sudah ada.

Di saat pemerintah beserta lembaga terkait berusaha keras untuk memberantas praktik ilegal ini, fakta bahwa individu-individu yang seharusnya menjadi panutan justru terlibat dalam perjudian menciptakan paradoks yang sulit untuk diterima oleh masyarakat.

Ketika mereka yang memegang kekuasaan dan tanggung jawab malah terjerumus dalam kegiatan melanggar hukum, rasa keadilan masyarakat pun semakin tergerus.

Situasi ini bukan hanya merusak citra institusi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan.

Masyarakat mulai mempertanyakan integritas para pemimpin dan aparat yang seharusnya melindungi mereka.

Ketidakadilan ini menciptakan ketidakpuasan yang mendalam dan bisa memicu tindakan protes atau penolakan terhadap kebijakan yang ada.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga melakukan introspeksi dan reformasi di dalam tubuh lembaga mereka.

Tanpa adanya perubahan nyata, upaya memberantas judi online akan terasa sia-sia dan kepercayaan masyarakat akan semakin sulit untuk dipulihkan.

Lebih mencengangkan lagi adalah penemuan 1.162 anak di bawah usia 11 tahun yang teridentifikasi bermain judi online. Fenomena ini menunjukkan bahwa judi online telah merasuk hingga ke kalangan yang paling rentan.

Anak-anak, seharusnya berada dalam tahap perkembangan yang sehat dan positif, malah terpapar pada perilaku yang berpotensi merusak.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang tanggung jawab orang dewasa dan institusi dalam melindungi generasi muda dari pengaruh negatif.

Usia pemain judi online yang dominan antara 20-30 tahun juga menunjukkan bahwa para pemuda, yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa, terjebak dalam lingkaran kecanduan yang sulit diputus.

Apabila tidak ada upaya serius untuk memberikan edukasi dan pencegahan, masa depan mereka akan terancam.

Kasus baru-baru ini yang melibatkan pegawai Komdigi menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, penegakan hukum justru disalahgunakan oleh mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan.

Alih-alih melindungi masyarakat, mereka malah terjerat dalam praktik yang merugikan banyak pihak.

Keterlibatan anggota TNI-Polri dan pejabat negara dalam judi online seharusnya menjadi panggilan introspeksi bagi semua elemen masyarakat. Masalah ini bukan hanya berkaitan dengan hukum dan penegakan, tetapi juga menyentuh aspek etika, tanggung jawab sosial, dan perlindungan terhadap generasi muda.

Jika kita tidak segera mengambil tindakan tegas dan nyata untuk mengatasi masalah ini, kita berisiko menyaksikan keruntuhan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi dan individu dalam masyarakat.

Saatnya untuk memberantas judi online dengan semangat yang tidak hanya diungkapkan dalam kata-kata, tetapi juga diwujudkan dalam langkah-langkah konkret berkelanjutan.

Penangkapan bandar judi online sangat mendesak, mengingat mereka bukan hanya pelaku utama dalam praktik ilegal ini, tetapi juga sering kali dilindungi oleh aparat atau pejabat yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.

Penulis menuntut agar tindakan tegas diambil terhadap para bandar judi, serta aparat dan pejabat yang membekingi mereka. Hanya dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi praktik ilegal dalam masyarakat.

Dengan penegakan hukum yang adil, kita bisa mulai memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa nilai-nilai moral dan etika tetap terjaga.

Mari bersatu dalam perjuangan ini, agar generasi mendatang dapat tumbuh dalam lingkungan yang bebas dari pengaruh negatif judi online.

Exit mobile version