SETIAPtanggal 10 November kita mengenang kepahlawanan para pejuang bangsa ini. Adalah Sutomo atau biasa dipanggil Bung Tomo. Pemuda ini berteriak lantang dalam orasi perjuangannya merebut kembali kemerdekaan Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945. Orasi perjuangan itu dikenang sebagai semboyan merdeka hidup atau mati dan ditutup dengan pekikan Takbir memuji Allah.
Bung Tomo telah meninggalkan jejak emas, mewariskan sifat kepahlawanan sejati kepada bangsa ini. Ia sebagaimana para pejuang lainnya yang berdiri tegar menentang penjajahan. Jika kita cermati para pejuang itu memiliki karakter yang khas yaitu karakter ksatria. Karakter tersebut tampak nyata pada diri Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Malahayati, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Fatahillah, Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura, Sultan Hasanuddin, Nyi Ageng Serang, Jenderal Sudirman, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Syekh Yusuf Tajul Khalwati, Untung Surapati, Sultan Nuku dan lain-lain yang tak dapat disebutkan namanya satu persatu.
Para pejuang ini menampilkan sikap kesatria yang menawan karena memiliki kepekaan yang tinggi, memiliki kesadaran yang benar, kritis, pemberani, rela berkorban dan cinta tanah air. Mereka telah berkiprah pada zamannya masing-masing, baik pada masa peperangan maupun ketika telah memasuki masa kolonialisasi.
Karakter kepahlawanan ini penting sekali untuk terus dimiliki oleh Generasi Muda Indonesia, sebagai generasi dari negara Muslim terbesar dunia. Inilah pesan sesungguhnya dari peringatan Hari Pahlawan. Sebagian dari kalangan muda berpikir bahwa memperingati hari pahlawan hanya sekadar seremonial, sekadar mengingat dan berterima kasih kepada para pejuang. Tentu saja pandangan ini tidak tepat.
Karakter kepahlawanan dengan kesadaran yang benar harus tetap dimiliki Gen Z, untuk membedakan antara yang haq dan yang batil. Sifat kritis dan pemberani harus terus dipupuk untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Rela berkorban dan cinta tanah air harus senantiasa hadir untuk mewujudkan kebangkitan dan kemajuan.
Nah mengapa kita bicara kebangkitan? Tentu saja karena kondisi negeri kita hari ini tidak baik-baik saja. Dengan karakter pahlawan yang kritis dan peka, Gen Z akan mampu mengindera berbagai masalah yang ada disekelilingnya. Bahwa penjajahan kuno kolonialisasi memang ternyata belum tamat, bahwa penjajahan itu telah bertransformasi menjadi penjajahan gaya baru atau dikenal dengan sebutan neokolonialisme.
Neokolonialisme dijalankan dengan cara yang sangat halus, namun dampaknya mampu menghegemoni bangsa-bangsa. Mereka mengatur lahirnya regulasi-regulasi yang mengatur dan menjamin kepentingan Elit Global di suatu negara. Sehingga dikuraslah sumber daya alam dan kekayaan bangsa ini dengan mudah. Lahirnya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dan Omnibus Law Kesehatan misalnya menjadi gerbang bagi penjajahan gaya baru untuk semakin kuat mencengkramkan kuku-kukunya.
Disamping itu mereka sama sekali tidak melewatkan fakta bahwa negara ini memiliki potensi luar biasa karena memiliki jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar. Indonesia diperkirakan memasuki bonus demografi antara tahun 2020-2030, dengan puncaknya pada tahun 2030. Fakta ini dapat berdampak buruk jika mereka tidak dapat mengendalikan generasi tersebut sesuai dengan kepentingan mereka.
Para elit itu kemudian menyusun strategi melalui agen-agen mereka yang duduk di bangku kekuasaan untuk membuat terobosan-terobosan, salah satunya melalui kurikulum pendidikan. Pelajaran agama Islam adalah sasaran pertama untuk direkonstruksi, kemudian pelajaran sejarah. Mengapa demikian? Tentu saja karena dua mata pelajaran ini adalah pembentuk identitas generasi.
Wajar kiranya jika sedikit demi sedikit Gen Z apalagi Gen Alpha berada dalam kondisi ahistoris. Ternyata banyak anak muda yang tidak peduli sejarah, tidak lagi mengenali para pahlawan bahkan tidak tertarik sama sekali untuk mempelajarinya. Padahal sejarah merupakan fondasi identitas kita karena menjelaskan asal-usul, nilai-nilai dan tradisi yang membentuk kita.