“Pangeran bin Salman adalah seorang ahli strategi yang memiliki pandangan jauh ke depan, pandangannya tertuju pada hal-hal yang ada saat ini maupun yang akan terjadi. Ya, dia mengambil tindakan keras terhadap Israel di pertemuan puncak, namun dokumen Israel tidak terlihat, tidak keluar dari pikiran. dialog mengenai hubungan akan dilanjutkan, tetapi tidak sekarang,” katanya.
Orasi kuat Bin Salman secara langsung membahas perilaku Israel, melacak pergerakan IDF di berbagai lini, dari Gaza hingga ke Iran, bahkan menyentuh Irak. Anehnya, yang absen dari wacana di Riyadh adalah kelompok Houthi di Yaman, sebuah sikap diam yang ditentukan oleh kalkulus Saudi.
“Penonton sejati KTT ini berada di Washington. Pertemuan ini diadakan di Arab Saudi, bukan di Mesir, sudah membuktikan banyak hal,” ungkap seorang komentator Saudi yang tidak mau disebutkan namanya. “Putra Mahkota telah mengambil kendali, sehingga Presiden el-Sisi menelan harga dirinya dan mengikuti jejaknya, menjadi peserta yang enggan dalam membentuk kembali dinamika kepemimpinan Arab.”
Profesor Farid, yang merupakan salah satu tokoh Saudi yang bijaksana, menggambarkan tarian diplomatik ini sebagai sebuah poros yang hati-hati namun berani, bukan sebuah perdamaian yang kokoh namun sebuah manuver yang cerdik. “Perubahan ini dimulai dengan dibukanya kembali pintu kedutaan di Teheran dan Riyadh dan terus berlanjut tanpa henti. Ini penuh dengan bahaya, namun kedua belah pihak melangkah dengan hati-hati,” katanya.
Banyak spekulasi mengenai langkah Saudi yang disampaikan kepada presiden AS yang akan datang, Donald Trump, berupa proposal untuk mencairkan hubungan Washington-Teheran. Para penasihat di kedua belah pihak sangat menyadari kelemahan masing-masing. Pandangan Amerika tidak pernah goyah dari ambisi nuklir Iran, sementara kepemimpinan Teheran dengan ahli memainkan peran Washington.
Yoel Guzansky dari Institute for National Security Studies berpendapat: “Saudi bertujuan untuk melakukan pemulihan hubungan pragmatis dengan Iran, berupaya menghindari baku tembak akibat konflik Iran-Israel yang telah diantisipasi sebelum pelantikan Trump. Retorika mereka yang pro-Iran adalah sebuah pesan strategis perlawanan dengan tindakan Israel.”