Cerita Nadia Siswi Kristen di Kota Bogor Sekolah 9 Tahun di Madrasah

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Seorang siswi beragama Kristen di Kota Bogor, Nadia Putri Darmawan, terpaksa sekolah di masdrasah tsanawiyah, setara sekolah menengah pertama, lantaran tak memiliki biaya untuk mengenyam SMP Negeri. Bahkan, karena tidak memiliki biaya kini dia terancam putus sekolah untuk melanjutkan ke jenjang SMA.”Mau, mau banget sekolah. Itu mau masuk jurusan kecantikan di Borcess, tapi enggak ada biaya,” kata Nadia, siswi MTS Nurul Huda, ditemui VIVA di rumahnya Kampung Sumur Wangi, Kelurahan Kayu Manis, Tanah Sareal, Jumat, 15 November 2024.

Nadia mengaku terbiasa memakai jilbab sejak duduk di kelas dua madrasah ibtidaiyah (setara sekolah dasar). Belajar dari teman-temannya, bertahun-tahun di sana membuat Nadia terbiasa mengikuti peraturan sekolah. Bahkan, Nadia mempelajari bahasa Arab.

“Iya, kalau ke sekolah pakai Jilbab, udah sih biasa kan dari SD di sana. Bisa kan belajar nulis juga (bahasa Arab),” kata Nadia.

Nadia lahir dari pasangan Auw Rudi Darmawan dan Merry Natalia. Pasangan itu bekerja serabutan menjadi pedagang makanan keliling. Nadia anak sulung dari empat bersaudara. Adik Nadia, Jason Felix Darmawan dan Lionel Febri Darmawan, duduk di bangku sekolah dasar SDN Kayu Manis 1 Kota Bogor. Sedangkan si bungsu, masih balita berusia tiga tahun.

Berasal dari keluarga miskin, keluarga Nadia berharap bersama seluruh anak-anaknya mendapat bantuan pendidikan dari pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) program pemerintahan Joko Widodo.

“Belum dapat KIP. Pernah dapat bantuan pemerintah PIP tapi waktu itu cuma sekali, sama Leonel,” kata Kiki, panggilan akrab Auw Rudi Darmawan, ayah Nadia.

Kiki menceritakan, Nadia kini sudah duduk di kelas 9 di MTS Nurul Huda, yang berlokasi tak jauh dari rumah. Nadia terpaksa tidak melanjutkan ke SMP Negeri karena sejak bangku kelas 2 SD bersekolah di lembaga pendidikan yang satu yayasan, yakni Madrasyah Ibtidaiyah (MI) Nurul Huda.

“Jadi waktu pindah dari Jakarta, kelas dua SD itu Nadia masuk ke sini, karena tidak bisa masuk ke negeri,” ujarnya.

Setelah tamat sekolah sampai hari ini ijazah MI, Nadia masih tertahan lantaran tidak memiliki uang untuk melunasi biaya sekolah. Penyebab itu yang membuat Nadia terpaksa melanjutkan sekolah di yayasan yang sama.

“Jadi, mau ke sekolah SMP negeri, tapi tidak biaya, buat bayar biaya dari kelas dua sampe lulus. Sampai sekarang di MTS juga belum bayar, nanti bagaimana nanti sekolahnya,” ungkap Kiki.

Meski keluarganya beragama kristen, Kiki mengaku tidak khawatir soal keyakinan Nadia yang sekolah di madrasah.  Sebab, setiap akhir pekan Nadia rutin beribadah ke gereja.

“Kalau agama masing-masing, enggak, enggak khawtir; kalau sekolah pakai jilbab kan memang sudah aturan sekolahnya, tapi kalau sudah pulang dibuka,” katanya.

Kiki mengaku usai tamat MTs, Nadia terpaksa tidak melanjutkan ke SMA karena terbentur biaya. Kiki berharap anak-anaknya mendapat bantuan pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar.

“Lulusnya, Juni tahun depan, mau masuk ke SMA bayarnya dua juta, saya enggak sanggup, buat makan aja susah, apalagi bayar sekolah. Ini aja sekolah di MTs Nurul Huda sudah mau sepuluh tahun, sama sekali saya enggak pernah bayaran, dari dia SD kelas satu, mungkin entar dia lulus dihitung-hitung sama sekolahnya dari SD sampai SMP.  Makanya saya mau cari kerjaan buat Nadia,” katanya.

Exit mobile version