Buku Karya Anak Berdarah Aceh-Melayu Diluncurkan di Jakarta

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

JAKARTA – Selamat tinggal atau sampai jumpa lagi, adalah kata yang paling dibenci Dinda Rikzya. Semenjak masih merah, dia terpaksa ditinggal oleh Ayahnya yang bekerja di Jakarta. Tiga bulan sekali, ayahnya baru bisa menjenguknya yang menetap bersama ibunya di Kuala Lumpur, Malaysia.

Sebagai anak yang lahir dari perkawinan campuran antara seorang warga Indonesia dan warga Malaysia, Dinda ikut terdampak secara emosional dari ikatan pernikahan jarak jauh yang dipilih orang tuanya. Bahkan saat pandemi melanda, hampir tiga tahun dia tak bisa melihat dan merasakan sentuhan kasih sayang Ayahnya.

Dua tahun lalu, dia dan Bundanya memilih menetap di Jakarta bersama ayahnya. Lagi-lagi Dinda harus menerima kata selamat tinggal dan sampai jumpa lagi. Kata-kata itu bahkan kini harus dia terima dari sahabat dan teman-temannya, terutama keluarga besar ibunya yang telah mendampingi dan membimbingnya semenjak balita.

Berpindah ke Jakarta untuk bersekolah di taman kanak-kanak, Dinda menjalani hari-hari dengan penuh tantangan, termasuk berbahasa Indonesia. Selama ini kata-kata dan kalimat dalam bahasa Inggris lebih mudah dicernanya. Meski begitu, dia disukai dan memiliki banyak teman di sekolah.

“Setiap malam dia kerap meminta menelpon keluarga, juga sahabatnya Ahya di Kuala Lumpur,” ujar Nadia Mohsin, Bundanya.

Semenjak Dinda bisa membaca dan menulis, Bundanya mewajibkannya membaca satu atau dua halaman buku sebelum tidur. Kebiasaan ini, ditambah cerita Bundanya tentang keinginan menulis buku, mendorong Dinda ingin menjadi seorang penulis buku.

“Aku juga ingin menulis buku sendiri!” kata Dinda membulatkan tekad, pada suatu malam.

Pada Juli lalu, Dinda yang berusia 6 tahun, mulai menulis kisahnya. Dalam waktu sebulan, gadis kecil berdarah Aceh-Melayu ini menyelesaikan 12 cerita, yang menjadi dasar buku perdananya yang diberi judul Four Friends and I am One of Them ini.

Buku ini mengisahkan persahabatan Dinda dengan tiga anak laki-laki di sekolah barunya di Jakarta. Namun, di balik cerita seru persahabatan mereka, ada emosi mendalam yang terukir, terutama tentang perpisahan.

Lagi-lagi Dinda harus menghadapi berbagai episode perpisahan ketika mereka harus naik tingkatan sekolah, dari Taman Kanak-kanak ke Sekolah Dasar.

“Lewat buku ini, Dinda belajar bahwa perjalanan hidup tidak selalu manis. Pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari kehidupan, dan harus membuat kita lebih kuat,” kata Riza Nasser, Ayahnya.

Pada Sabtu 23 November kemarin, buku perdana Dinda Rizky ini diluncurkan di Tebet, Eco Park. Meski acara sempat terhalang hujan deras yang mengguyur Jakarta sore itu, Dinda dapat merayakan pencampaiannya bersama teman-temannya.

Sahabat dan keluarga besarnya dari Kuala Lumpur juga ikut hadir dan merayakan bersama.

“Sebagai anak yang berusia 6 tahun, Dinda sudah bisa menumpahkan fikiran, emosi kesedihan dan kebahagiaannya dalam buku ini. Buku ini layak dikembangkan untuk menjadi sebuah film menurut saya,” kata Agus Japar Sodik, penulis cerita anak dan pendongeng nasional, yang ikut menjadi pengisi acara peluncuran buku ini.

Dalam penyusunan dan penerbitan buku yang ditulis dalam bahasa Inggris ini, Dinda mendapatkan dukungan penuh keluarga besar. Selain dibimbing dan diarahkan oleh bundanya yang merupakan jurnalis asal Malaysia yang bertugas di Jakarta, sang kakek, Mohsin Abdullah, seorang jurnalis veteran asal Malaysia, menjadi editor yang memeriksa alur cerita dan ejaan dalam buku ini.

Edi IP, seorang design grafis asal Aceh yang kini menetap di Kalimantan, membantu Menyusun tata letak untuk penerbitan buku ini. Buku ini diproduksi dan diperjual belikan dalam jumlah terbatas, serta akan didistribusikan ke beberapa perpustakaan di Jakarta, Aceh, dan Kuala Lumpur.

Buku Four Friends and I am One of Them ini menjadi kado berharga bagi Dinda, yang akan berulang tahun ke tujuh, di ujung November tahun ini. Semangat keluarga inilah yang membuat Dinda percaya bahwa setiap tantangan bisa dihadapi.

Dinda berharap bukunya bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak lain. Baginya, menulis bukan hanya cara untuk berbagi cerita, tetapi juga untuk memahami dan menerima bahwa perpisahan adalah awal dari sebuah perjalanan baru.

“Dinda belajar bahwa perubahan, meski sulit, adalah hal yang membuat kita lebih kuat,” ujar Bundanya.

Lewat Four Friends and I am One of Them, Dinda mengingatkan kita semua (anak-anak maupun orang dewasa) bahwa perpisahan bukanlah akhir. Sebaliknya, ia adalah pintu menuju pengalaman baru, tantangan yang memupuk keberanian, dan pelajaran hidup yang menjadikan kita lebih tangguh.[]

Exit mobile version