Penulis: Direza Mustafa, SE, MM*
ERA konflik panjang Aceh yang berlangsung lebih dari tiga dekade terakhir meninggalkan banyak cerita dan kisah, ada yang senang ada yang duka ada pula yang susah sampai sekarang ini.
Bocah kecil seperti saya kala itu hanya fokus terhadap pendidikan yang menjadi kewajiban warisan serta perintah orang tua yang mutlak dilakukan dengan kecukupan yang sudah tersedia. Padahal ada di pelosok sana banyak yang tak seberuntung saya.
Muzakir Manaf adalah seorang Panglima Perang Aceh berasal dari daerah terpencil di Seuneudon, Aceh Utara. Ia juga seorang anak muda yang pada usia mudanya meniti karir dalam perjuangan kemerdekaan Aceh, memikirkan nasib para bocah-bocah di sekitarnya yang hanya bisa mencium aroma bau gas Petro Dollar, tapi lagi-lagi saya sampaikan tak seberuntung saya yang tinggal di ibukota Aceh.
Hati Muzakir Manaf secara intuisi membuat dia berkomitmen bagaimana ia bisa memperjuangkan nasib para bocah-bocah kecil yang dapat bersekolah sama seperti anak-anak bangsa Indonesia lainnya, toh Aceh juga bagian dari pada Indonesia.
Ia dan rekan-rekannya mempertaruhkan nyawa untuk sebuah pergerakan menentukan nasib daerahnya yang pada saat itu hanya mendapat cipratan kecil dari Pemerintah pusat, yang mungkin sekarang cipratan besar diberikan oleh presiden SBY atas kompensasi perjuangan pasca bencana tsunami.
Ia bodoh tapi ada 3000 pucuk senjata yang dipotong dalam pasca damai, ada lebih dari 3000 pasukan bersenjata dan ada lebih ratusan ribu pasukan para pejuang yang sama-sama memperjuangkan hak-hak mereka yang mengharapkan kesetaraan, atas komitmen sila ke 5 Pancasila.
Mualem dinarasikan bodoh oleh lawan politiknya namun ia berhasil memimpin ratusan ribu pejuang, Mualem bodoh tapi ia korbankan nyawanya untuk anak-anak Aceh agar bisa bersekolah, Mualem bodoh tapi ia perjuangkan orang-orang pintar dan aktivis pintar agar dapat mengisi ruang-ruang pada tubuh Partai Aceh yang membuat dia sadar bahwa mereka yang pintar tentu belum tentu setia.
Mualem ibarat seorang Ayah yang mengorbankan dirinya untuk anak-anaknya. Tapi, hari ini ia dikatakan bodoh. Mereka lupa bahwa sekolah, jabatan, semua hal itu merupakan perjuangan seorang yang didengungkan bodoh agar anak-anak Aceh bisa pintar, Aceh bisa maju, terjadinya kesetaraan pendidikan di Aceh, masyarakat di Aceh bisa memiliki lapangan kerja yang sama kompetensinya dengan masyarakat-masyarakat luar yang bekerja di Aceh. Itulah perjuangan si Bodoh.
Terimakasih Si Bodoh!
Kami menunggu gebrakan anda menjadi Gubernur Aceh.
Profil Muzakir Manaf
Wakil Gubernur Aceh Wakil Gubernur Aceh (2012 – 2016)
Tempat & Tanggal Lahir
Seuneudon, 3 Mei 1964
Karir
- Panglima Gerakan Aceh Merdeka (2002 – 2005)
- Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) (2005 – 2016)
- Ketua Umum Partai Aceh (PA) (2007 – 2016)
- Ketua Dewan Penasihat DPD Partai Gerindra Aceh (2013 – 2016)
- Anggota Pasukan Gerakan Aceh Merdeka (1986 – 2005)
- Panglima Gerakan Aceh Merdeka wilayah Pase (1998 – 2002)
- Wakil Panglima Gerakan Aceh Merdeka (1998 – 2002)
- Wakil Gubernur Aceh Wakil Gubernur Aceh (2012 – 2016)
Pendidikan
- SDN Seuneudon Kabupaten Aceh Utara
- SMP Negeri Idi Kabupaten Aceh Timur
- SMA Negeri Panton Labu Kabupaten Aceh Utara
Detail Tokoh
Dilahirkan dengan nama Muzakir Manaf, pria ini lebih akrab disapa oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Mualem. Panggilan ini tidak sembarangan. Pada masa perang Aceh, gelar Mualem disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu kemiliteran, yang memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Pada masa damai sekarang, orang Aceh masih juga menyebut Muzakir Manaf sebagai Mualem. Tentu saja, nuansanya tak lagi dikaitkan dengan soal militer, tapi sebagai sapaan kehormatan, tak hanya bagi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tapi juga oleh seluruh masyarakat Aceh lainnya.
Mualem lahir di Seuneudon, Aceh Utara pada 1964. Ayahnya seorang petani dengan pendatapatan yang cukup terbatas. Ia sudah terlibat dalam perjuangan Aceh bersama GAM sejak usia muda yakni 19 tahun. Keterlibatannya di GAM sebenarnya bukan rencana awal Mualem selepas kelulusannya di SMA. Kala itu sebenarnya ia ingin menjadi Tentara Nasional Indonesia tetapi tidak lulus tes. Ia akhirnya ke Malaysia dan mengikuti tes untuk menjadi tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pertama dengan GAM, Mualem mengisahkan tiap hari dia mengikuti latihan fisik dan latihan meliter secara bergerilya di Aceh. Setelah mengikuti proses selama satu minggu, ia diterima sebagai salah satu lulusan terbaik saat itu.
Setelah lulus Mualem mendapat pendidikan militer selama empat tahun. Selain pendidikan militer, kata Mualem, ia juga mendapatkan pelajaran lain seperti antropologi, sosiologi, ekonomi, militer dan lainnya. Selama empat tahun itu ia dididik langsung oleh almarhum Wali Nanggroe Hasan Tiro. Mualem memang memiliki kedekatan yang erat dengan pemimpin GAM ini. Bahkan ada banyak hal yang dipercayakan Tiro padanya. Ia juga mengatakan saat Hasan Tiro akan berangkat ke Irsyad dan Libya, pemimpin kharismatik itu sempat menitipkan pesan jika terjadi apa-apa pada dirinya di pesawat, ia menitipkan ‘lidahnya’ ke Mualem.
Sejak 1986 hingga 1989, bersama beberapa pemuda Aceh pilihan lainnya, Mualem dikirim ke Libya untuk mengikuti pendidikan militer di Camp Tajura. Nah, sesampainya di negara Muammar Khadafi itu, Muzakir mendapat latihan militer sangat berat, tegas dan sungguh disiplin, dalam latihan selain menggunakan berbagai jenis senjata, juga diajarin sistem perang gerilya. Sungguh berat latihannya dan disiplin, sedikit saja melakukan kesalahan, semua dalam kelompok itu dikenai hukuman dengan disiplin.
Entah bagaimana, dalam kelompok puluhan anggota yang telah menjalani beberapa bulan Muzakir tak terbayangkan dirinya terpilih menjadi Pengawal Presiden Libya Muammar Khadafi. Namun, sekitar tiga tahun jadi pengawal Presiden Libya, kemudian mendapat perintah untuk pulang ke Aceh, membangun Aceh dengan melanjutkan perjuangan menuntut kemerdekaan Aceh dan mensejahterakan rakyat mendampingi Tgk Abdullah Syafii. Pulang ke Aceh mendapat perintah dan kepercayaan langsung dari Pimpinan tertinggi Tgk Muhammad Hasan Ditiro (alm) sebagai Wali Nanggroe.
Ketika kembali ke Aceh, sama seperti kombatan GAM lainnya, Mualem bergeriliya dari satu hutan ke hutan lainnya. Keberadannya begitu sulit dideteksi oleh aparat keamanan. Kala itu, aparat keamaan pernah beberapa kali mengumumkan bahwa Muzakir Manaf telah tewas, namun nyatanya Mualem kemudian muncul di tempat lain dalam kondisi sehat tanpa kekuarangan satu apapun.
Mualem dan temannya lain eks Libya dapat tugas mengatur strategi dengan berbagai teknik. Akhirnya setelah Abdullah Syafii Syahid, Muzakir melanjutkan perjuangan, hingga pada akhirnya dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (Mou) Helsinki 15 Agustus 2005.
MoU Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005, sayap militer GAM dibubarkan, dan kemudian dibentuk KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005, Mualem pernah menjabat sebagai Ketua KPA. Sekaligus juga Ketua Umum Partai Aceh, sejak 2007.
Pasca MoU kendati tak ada cita-cita masa kecil, tapi Mualem mendapat kepercayaan dari rakyat Aceh jadi pemimpin nomor dua sebagai Wakil Gubernur yang dilantik Mendagri. Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh 2012, Partai Aceh—sebagai partai terbesar di Aceh—mengusung Muzakir Manaf sebagai calon wakil gubernur Aceh 2012-2017, bersama dr. Zaini Abdullah, mantan Mentri Luar Negeri GAM yang diusung Partai Aceh sebagai Calon Gubernur. Muzakir Manaf sendiri juga pernah menjabat sebagai Panglima GAM, menggantikan Abdullah Syafi’i yang wafat pada 22 Januari 2002.[]
*). Penulis adalah Warga Kota Banda Aceh.