BANDA ACEH – Di media sosial, tengah viral yang dinarasikan dengan kemunculan warga suku Togutil keluar hutan untuk menemui sejumlah pekerja di Halmahera, Maluku Utara.Dalam video yang salah satunya diunggah oleh akun X @heraloebss itu, tampak seorang pria dengan rambut gondrong dan kumis serta jenggot yang lebat turun dari sebuah bukit.
Ia tampak mendatangi sejumlah pekerja dan petugas bersenjata api yang ada di lokasi tersebut.
Pria yang hanya mengenakan semacam kain penutup aurat dan tanpa baju itu tampak berbicara dengan suara lantang sejak dari kejauhan. Ialah yang disebut sebagai warga Suku Togutil.
Seorang pekerja yang tampaknya adalah penerjemah atau warga lokal, menyambut pria itu dan kemudian bersalaman.
Terlihat suasana santai tapi sedikit bingung dari sejumlah orang video tersebut. Para pekerja kemudian menyambut orang yang disebut warga suku Togutil tersebut.
Pria yang disebut sebagai warga Suku Togutil itu kemudian menyapa dan menyalami para pekerja dan petugas bersenjata tadi.
Disebut dalam narasi video, bila warga Suku Togutil itu tengah meminta makanan kepada para pekerja yang disebut sebagai pekerja sebuah perusahaan pengeboran tersebut.
Momen Suku Togutil Keluar Hutan Temui Sejumlah Pria📍Halmahera
Suku togutil: Kalian dari mana,?Jubir: dari waijoi
Suku tugutil: Mau pergi ke mana?Jubir: mau ke hutan untuk berburu
Suku tugutil: kalian ini siapa?Jubir: kami dari perusahaan (org2 perusahaan yg bertugas… pic.twitter.com/XHmGoRO0Hh
— Miss Tweet | (@Heraloebss) November 24, 2024 Belum diketahui kebenaran terkait video tersebut.
Namun video yang menyebutkan kemunculan warga Suku Togutil bukan yang pertama.
Beberapa bulan lalu juga ada beredar video warga Suku Togutil kembali mendatangi para pekerja di Hutan Halmahera, Maluku Utara.
Terdiri dari satu orang lelaki dan dua perempuan, mereka mendatangi para pekerja di lokasi tambang.
Kedatangan mereka pun disambut hangat oleh para pekerja. Ketiganya juga diberikan makan oleh para pekerja.
Siapa sebenarnya Suku Togutil?
Salah satu komunitas yang masih mendiami pedalaman Halmahera, Maluku Utara, adalah etnis Tobelo Dalam.
Umumnya, masyarakat mengenal mereka sebagai suku Togutil.
Wakil Rektor Universitas Halmahera (Uniera) Dr Sirayandris J Botara MSi Teol yang dihubungi Kompas.com, Selasa (1/11/2023), menjelaskan, sesungguhnya sebutan Suku Togutil tidak sesuai dengan status kultural dari komunitas ini.
“Suku Togutil berkaitan dengan pelabelan terhadap komunitas, ini yang diwarisi sejak lama. Masyarakat lokal mengenal ini dengan Tugo Tukil, maka jadilah Togutil, sering dikaitkan dengan naluri berburu dari komunitas ini,” kata Sirayandris dikutip dari Tribunnews.
video warga Suku Togutil kembali mendatangi para pekerja di Hutan Halmahera, Maluku Utara. Mereka terdiri dari satu orang lelaki dan dua perempuan, mereka mendatangi para pekerja di lokasi tambang. (Istimewa) |
Komunitas ini kata Sirayandris, lebih memilih disebut Ohongana Manyawa.
Jika diterjemahkan, ohangana bisa diartikan orang hutan, dan manyawa itu manusia atau orang.
“Tapi bukan itu arti sebenarnya. Ohongana Manyawa lebih tepat diartikan sebagai orang yang mendiami belantara hutan Halmahera, maknanya orang yang hidup bersama alam.”
“Ohangana Manyawa menggunakan Bahasa Tobelo sehingga disebut Tobelo Dalam,” tuturnya.
Namun, ini berbeda lafalnya di beberapa tempat seperti di Kabupaten Halmahera Tengah, yang mana bahasa Tobelo pada komunitas ini sudah dipengaruhi oleh bahasa sub etnis Tabaru, yakni salah satu subetnis yang ada di Halmahera khususnya di Kabupaten Halmahera Barat.
Anggota komunitas ini yang sudah berbaur dengan masyarakat juga sangat jarang atau tidak lagi disebut lagi Ohangana Manyawa.
Mereka ini masih dapat dijumpai di Sebagian wilayah Kabupaten Halmahera Timur, seperti Miaf, Maba Tengah, Tanjung Lili, Dorosago, Maba Utara, Waya, dan Wasilei Utara.
Sementara di Kabupaten Halmahera Tengah, seperti di Akejira, Weda Timur, Weda Utara, bisa juga ditemukan di Oba dan Oba Selatan.
Di wilayah-wilayah tersebut komunitas ini masih mempraktikkan pola hidup masyarakat nomaden atau berpindah-pindah, kemudian selalui terkait dengan musim dan sumber makanan yang tersedia.
“Jadi karena mereka masih hidup dari alam maka cara konsmsi makanan masih alamiah,” ungkap Sirayandris.
Pola hidup masyarakatnya masih genuine, misal jika seorang bayi baru lahir, mereka tidak mengingat dengan penanggalan masehi tapi dengan jalan menanam pohon atau semacam tanaman.
Kemudian tanaman itu ditanam bersamaan dengan plasenta bayi dari lahir, lalu bayi itu dinamakan sesuai dengan nama pohon itu.
Jadi misal, tebu dengan bahasa Tobelo namanya Ugaka, maka anak itu diberi nama Ugaka.
Kemudian, terkait data komunitas ini, Syrandris mengatakan masih sulit didapat yang bersentuhan dengan masyarakat, dan masih tergolong berisiko untuk menjumpai mereka.
Namun, kultur dari komunitas ini yang sering berpindah, tentu tidak mudah beradaptasi dengan masyarakat.
“Komunitas ini menurut saya adalah komunitas yang masih memelihara alam Halmahera dan merawatanya sepenuh jiwa jadi mereka perlu dilindungi,” tutup dosen sejarah ini.