Imbas OTT Gubernur Bengkulu, KPK Terima Banyak Pesan soal Kecurangan Pilkada

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH  – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengaku mendapat pesan WhatsApp (WA) usai pihaknya melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah.

Pesan yang diterima Alex kurang lebih sama seperti kasus yang dibongkar lewat Rohidin, yakni terkait kecurangan pilkada.

“Saya setelah kejadian ini mendapat WA dari beberapa nomor yang tidak saya kenal, dia menyampaikan, pak, ini di daerah tertentu juga sama, dia sebut bahkan sudah dalam taraf TSM, terstruktur sistematis masif,” kata Alex dikutip dari tayangan YouTube KPK RI, Selasa (26/11/2024).

KPK diketahui telah menetapkan Rohidin sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi.

Lembaga antirasuah itu menduga Rohidin memeras para kepala dinas dan pejabat di lingkungan Pemprov Bengkulu untuk modal kampanye Pilgub Bengkulu.

Bahkan KPK telah menyita amplop bergambar Rohidin dan calon wakil gubernurnya, Meriani. Amplop itu disinyalir akan dipergunakan untuk serangan fajar.

Alex mengatakan bahwa fenomena demikian sudah lama terjadi. Hal itu disebabkan oleh biaya Politik yang tinggi.

“Ini kan sudah lama fenomena seperti ini. Bahkan, dari kajian KPK, LIPI dan Kemendagri kan sudah melakukan penghitungan rata-rata berapa sih biaya yang dibutuhkan oleh seorang kepala daerah, tingkat dua itu kalau enggak salah Rp 20 sampai Rp 30 miliar. Kemudian tingkat provinsi sekitar Rp 50 miliar,” tutur Alex.

“Itu baru untuk mencalonkan loh, belum tentu menang. Kalau mau menang ya dua atau tiga kali lipat. Konon seperti itu,” imbuhnya.

Alex menilai faktor utama yang harus dibenahi adalah pendidikan politik masyarakat. 

Pasalnya, pemilihan di Indonesia masih sangat bergantung hanya kepada uang.

“Kemenangan itu banyak bergantung hanya pada uang yang nanti akan diberikan kepada masyarakat. Salah satunya itu membeli suara. Ini biaya yang paling besar. Termasuk juga untuk honor dari para pendukungnya, saksi-saksi dan lain sebagainya. Itu membutuhkan biaya yang sangat besar dan tentu membutuhkan kemampuan keuangan yang tinggi juga,” kata Alex.

Alex bilang, uang-uang tersebut tidak melulu bersumber dari kantong pribadi calon pemimpin kepala daerah, melainkan banyak dari sponsor.

“Termasuk antara lain dengan cara-cara seperti ini kan: dukungan dengan menjanjikan nanti kalau saya menang kamu tetap menjadi kepala dinas dan lain sebagainya, kalau enggak mendukung dan saya menang nanti kamu saya ganti,” ujar Alex.

“Ada semacam pemaksaan, intimidasi terhadap pejabat-pejabat di daerah termasuk pegawainya itu untuk mendukung petahana. Ini yang terjadi,” sambungnya

Exit mobile version