BANDA ACEH – Perang berlarut di berbagai front yang dihadapi Israel, tidak bisa dibohongi menggerus ekonomi dan pemasukan vital negara pendudukan tersebut.
Sejak pecahnya perang, pariwisata Israel mengalami kelumpuhan permanen, hingga 90 hotel ditutup, menurut laporan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Hotel Israel, Minggu (24/11/2024).
Dikutip dari Khaberni, Selasa (26/11/2024), laporan itu menyebut pariwisata Israel mengalami penurunan signifikan sebesar 20 persen dengan jumlah hotel yang mengalami penurunan jumlah penginapan juga naik sebesar 29 persen.
Tingkat hunian hotel-hotel Israel selama periode perang, pecah sejak 7 Oktober 2023, hanya mengandalkan subsidi dari pemerintah untuk menampung para pemukim Yahudi, baik di utara maupun di selatan, yang mengungsi karena terdampak perang.
Secara rutin tiap hari, milisi-milisi perlawanan, khususnya Hizbullah Lebanon di Utara, membombardir pemukiman Yahudi, memaksa mereka untuk mengungsi.
“Dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu, jika bukan karena menampung pengungsi dari utara dan selatan di hotel, akan lebih banyak dari mereka yang menutup pintunya,” tulis laporan tersebut.
Sebagai catatan, Israel juga harus menanggung biaya ganti rugi (kompensasi) para pemukim Yahudi yang terpaksa mengungsi, yang jumlahnya sangat besar.
Ini menjadi satu di antara alasan Israel menetapkan ‘pengembalian para pemukim ke rumah-rumah mereka’ sebagai prioritas dan target utama saat militer mereka (IDF) melancarkan agresi militer darat ke Lebanon untuk memukul mundur Hizbullah per 1 Oktober 2024 kemarin.
Laporan tersebut juga mengungkapkan gambaran suram mengenai apa yang mereka sebut sebagai “industri perhotelan”. Padahal pada musim liburan biasanya bisnis wisata dan perhotelan Israel sangat sibuk.
“Jumlah penginapan di hotel-hotel Israel turun 29 persen dibandingkan Oktober 2023, sementara pariwisata internasional menurun karena meningkatnya konflik di wilayah utara,” menurut Sivan Detauker, CEO Asosiasi Perhotelan Israel, menurut apa yang dilaporkan surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth.
Dari laporan tersebut, “90 hotel telah ditutup sejak dimulainya perang, angka ini adalah 20 persen dari industri perhotelan Israel. Dan situasinya makin parah,” ujarnya.
Sedangkan untuk angka kunjungan wisatawan internasional ke Israel, juga hampir menghilang.
Tercatat, hanya ada 120.000 kunjungan wisatawan pada bulan Oktober lalu, turun 63 persen dari bulan Oktober 2023, dan turun 86 persen dibandingkan bulan Oktober 2022.
“Jumlah tersebut sejauh ini sama mengejutkannya (secara keseluruhan). Hanya ada 1,6 juta kunjungan wisatawan yang terdaftar pada tahun 2024, turun dari 7,5 juta kunjungan pada tahun sebelumnya.
“Total penginapan di hotel mencapai 1,58 juta pada bulan Oktober, turun 29 persen dari periode yang sama tahun lalu, meskipun faktanya hari libur Yahudi seluruhnya jatuh pada bulan Oktober tahun ini dibandingkan tahun lalu, serta penurunan perjalanan domestik akibat konflik di wilayah utara,” tambah laporan itu.
Kesuraman ini juga terjadi di kota-kota besar lain Israel, seperti Haifa (penurunan 51%), Tiberias (45%), dan Nazareth (80%).
“Ketiga kota tersebut adalah kota-kota yang paling terkena dampak perang,” papar laporan itu.
Adapun tingkat hunian kamar rata-rata di seluruh Israel adalah 51 persen pada bulan Oktober, turun 63% pada tahun lalu, yang merupakan tingkat hunian bulanan terendah pada tahun 2024.
Hanya beberapa lokasi yang bernasib lebih baik, termasuk Eilat (72%) dan Netanya (63%) dan Dead Laut (62%), juga menurut Badan Pusat Statistik Israel.
Dari apa yang dilaporkan oleh kantor tersebut, menurut apa yang diterbitkan Yedioth Ahronoth secara hati-hati dan singkat, izin tinggal Israel dari Januari hingga Oktober 2024 berjumlah 17,8 juta, meningkat dari 13,9 juta pada periode yang sama tahun lalu.
“Penyebab peningkatan tersebut adalah masuknya jumlah pengungsi pada data tahun 2024, yang tidak dihitung pada tahun sebelumnya,” kata laporan itu.
Hizbullah Jauh dari Kata Kalah, Ekonomi Israel Melemah
Koresponden urusan militer untuk Israel Hayom menyebut bahwa pasukan Israel (IDF) belum mengalahkan Hizbullah.
Pihaknya juga menekankan bahwa kini situasinya IDF masih jauh dari kata ‘selesai’.
Ia mencatat sentimen tersebut tidak hanya dibicarakan oleh para pemukim Israel di utara dan tentara zionis yang bertempur di Lebanon selatan.
Namun juga oleh penduduk Tel Aviv, mengutip Channel 12.
“Tidak diragukan lagi bahwa pencapaian Israel semakin berkurang seiring berjalannya waktu, sementara pencapaian Hizbullah semakin meningkat,” bunyi laporan di Channel 12.
Senada dengan itu, penasihat strategis Barak Sari mengatakan bahwa Hizbullah tengah bergerak menuju perang gesekan yang berkepanjangan.
“Israel kurang siap menghadapi konflik jenis ini, karena negara itu berupaya untuk kembali ke keadaan normal dan memulihkan ekonomi serta masyarakatnya.”
Sementara itu Moshe Davidovich, kepala Forum Pemukiman Garis Depan Israel di wilayah utara Palestina yang diduduki, menggambarkan keadaan tenang yang aneh bercampur dengan kepanikan ekstrem.
Hal itu disebabkan oleh intensitas serangan roket dan pesawat tak berawak dari Lebanon selama tiga hari terakhir.
Davidovich mengatakan bahwa kepanikan dimulai dengan serangan pesawat tanpa awak, dan itu sekarang telah menjadi rutinitas.
“Seiring berjalannya waktu, tekanan Hizbullah terus meningkat,” ujarnya, mengutip Al Mayadeen.
“Kami ingin membawa para pemukim kembali ke utara , tetapi ketenangan harus dipulihkan terlebih dahulu. Situasinya masih sangat sensitif, dengan ketegangan yang meningkat sangat tinggi,” lanjutnya.
Davidovich juga menyatakan bahwa wilayah utara telah berada dalam keadaan kekacauan besar dalam beberapa hari terakhir.
Davidovich menyatakan para pemukim (Israel) tidak merasa aman, dan mereka juga tidak yakin dapat kembali ke rumah mereka, karena mereka