Dalam jangka menengah, pilihan untuk menaikkan pengumpulan pajak dapat dilaksanakan melalui perbaikan akses dan ketersediaan data pihak ketiga untuk dilacak dan diverifikasi pendapatan, serta upaya formalisasinya.
Iming-iming Bank Dunia adalah penerimaan pajak yang lebih tinggi pada gilirannya dapat membiayai kegiatan sosial bantuan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat miskin yang terkena dampak tarif PPN yang lebih tinggi tersebut.
Padahal sebenarnya PPN ini langsung menyedot pendapatan kaum miskin dan mengembalikan kepada kaum miskin akan melewati birokrasi yang sangat korup.
Tidak Efisien atau Korup
Kata Bank Dunia masalah Indonesia bukan naikin pajak, tapi bagaimana efektifitas dan efisiensi dalam pengumpulan pajak. Pajak yang diterima negara tidak sesuai dengan yang disetorkan masyarakat. Banyak sekali nyangkut dimana mana. Kata Bank Dunia ini tidak efisien.
Dikatakan Indonesia menghadapi tantangan efisiensi yang membatasi potensi kenaikan tarif pajak untuk menghasilkan tambahan pajak pendapatan.
Hanya sebesar 0,53, rasio efisiensi PPN adalah 0,17 poin di bawah rata-rata negara-negara tetangga di kawasan (rasio angka 1 menunjukkan sistem pemungutan pajak yang sangat efisien).
Hal ini menunjukkan potensi pendapatan yang bisa dimiliki dikumpulkan dengan tarif saat ini hampir dua kali lipat yaitu pemungutan pajak yang sebenarnya.
Jika rasio C-koleksi ditingkatkan ke tingkat yang setara dengan negara-negara lain di kawasan, perkiraan menunjukkan bahwa pengembalian fiskal dari PPN kenaikan suku bunga bisa meningkat hingga 32 persen keuntungan saat ini.
Kekurangan berasal dari kedua kebijakan tersebut desain PPN dan kepatuhan pajak yang rendah. Bukti dari negara lain menyarankan bahwa PPN menurut undang-undang
kenaikan suku bunga mungkin menghasilkan sedikit atau tidak ada pendapatan tambahan keuntungan jika tantangan ketidakpatuhan terus berlanjut.
Efisiensi pajak yang rendah disebabkan oleh sempitnya basis pajak dan kepatuhan yang rendah, yang mengakibatkan pengumpulan pajak tambahan terbatas jika tarif dinaikkan. Jadi masalahnya bukan naikin PPN akan tetapi korupsinya diberantas, dihabisi sampai ke akar akarnya
Rapih Rapih, Bersih Bersih, Bagi Bagi Duit
Kalau melihat data ekonomi yakni deflasi dalam lima bulan terakhir, seharusnya memberi gambaran kepada pemerintah bahwa daya beli masyarakat menurun. Apalagi deflasi dipicu oleh penurunan bahan makanan, berarti masyarakat sudah kehilangan kemampuan membeli bahan pokok.
Harga bahan pokok makin tidak terjangkau oleh saldo yang tersisa direkening orang. Mana bisa menaikkan PPN dalam kondisi begini?
Pemerintah harus mengubah orientasinya dari menyedot uang dari masyarakat menjadi kebijakan membagikan uang kepada rakyat.
Membagi yang banyak, kalau tidak bisa membagi pekerjaan maka langsung saja membagikan uang. Ini cara paling baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang kita tahu ditopang oleh konsumsi.
Sekarang darimana uangnya? Apakah ada? Tentu saja ada. Mencari uang bisa dimulai dengan membenahi, merapikan data data ekploitasi sumber daya alam, minyak, batubara, timah, nikel, sawit dan lain sebagainya. Ini harus dimulai dengan mebentuk komando pasukan khusus untuk merapikan masalah ini.
Selanjutnya coba dipikirkan bagaimana caranya agar uang yang diperoleh dari hasil ekspor sumber daya alam bisa kembali ke dalam negeri, berputar dalam ekonomi nasional.
Uang swasta yang diperoleh dari keruk SDA balik ke dalam negeri mengisi darah dan memperkuat urat nadi ekonomi nasional. Sekarang kita tau ini banyak disimpan di luar negeri.
Ini perlu Pangkokamtib untuk rapih rapih, bersih bersih, dan bagi bagi duit kepada masyarakat. Ok bos?