Tidak harus relokasi, atau tidak harus menghapuskan posisi pemukim lokal, baik yang merupakan pemilik tanah bersertifikat, hak garap, atau hak guna usaha, maupun hak guna lahan lainnya untuk melakukan perubahan atau pengalihan hak atas tanah, termasuk terhadap mereka yang tidak mempunyai surat tanah sekalipun.
Implikasi lanjutan juga menguatkan keyakinan bahwa tindakan melawan hukum dengan cara menolak PSN-PSN dengan melawan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah pada Pasal 33 ayat (3) maupun UU 5/1960 Pasal 5, yang melupakan tentang terdapat banyak pilihan mengenai perubahan hak atas tanah sebagai bentuk-bentuk kerjasama perubahan hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas.
Juga terhadap tidak semena-mena dalam menggunakan istilah sebagai kegiatan penggusuran tanah secara paksa, maupun perampasan tanah sebagai satu-satunya praktek yang senantiasa diframming dan dikonstruksikan untuk dikerjakan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Sesungguhnya terkesan titik kritis pada kegiatan pengadaan tanah itu terletak pada hasil kinerja penilaian pertanahan, misalnya hal ini sebagai konsekuensi dari penataan UU 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pasal 1 butir 11 menyatakan bahwa penilai pertanahan, yang selanjutnya disebut penilai, adalah orang-perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan professional, yang telah mendapat izin praktik penelaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.
Titik kritis lainnya pada kegiatan pengadaan tanah terletak pada kegatan konsultasi publik, yaitu proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pasal 10 menyatakan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan: (a) pertahanan dan keamanan nasional, (b) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api, (c) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya, (d) pelabuhan, bandar udara, dan terminal, (e) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi, (f) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik, (g) jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah, (h) tempat pembuangan dan pengolahan sampah, (i) rumah sakit pemerintah/pemda, (j) fasilitas keselamatan umum, (k) tempat pemakaman umum pemerintah/pemda, (l) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik, (m) cagar alam dan cagar budaya, (n) kantor pemerintah/Pemda/desa, (o) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk Masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa, (p) prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemda, (q) prasarana olahraga pemerintah/pemda, dan (r ) pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pasal 12 ayat (1) juga menyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b sampai dengan huruf r wajib diselenggarakan pemerintah dan dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta.
Pada kasus PSN PIK 2, yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah cagar alam hutan mangrove, berikut beberapa perluasan definisi kepentingan umum yang lainnya sebagaimana yang telah tercantum di atas.
Pasal 36 menyatakan bahwa pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a) uang, (b) tanah pengganti, (c) permukiman kembali, (d) kepemilikan saham, atau (e ) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Implikasinya adalah kegiatan pengadaan tanah untuk PSN-PSN seyogyanya bukanlah senantiasa ditafsirkan, dikonstruksikan, dan diprovokasi sebagai kegiatan penggusuran paksa, perampasan tanah, atau terutama dimaknai sebagai bentuk praktek kegiatan pemiskinan dan kegiatan penjajahan antara pihak yang mengadakan tanah dengan pihak yang terkena kegiatan pengadaan tanah antar etnis sesama WNI.