Kapolres Kediri Menangis di Sudut Rumah Sakit Saksikan Bocah Selamat dari Pembunuhan Satu Keluarga

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Di salah satu sudut sunyi Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri, AKBP Bimo Ariyanto, sosok tegas yang kerap hadir dalam balutan seragam lengkap, kini terlihat berbeda. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, menahan gejolak rasa yang tampak sulit dibendung. Di hadapannya, terbaring bocah lelaki berusia delapan tahun, SPY, satu-satunya yang selamat dari tragedi pembunuhan keji yang menimpa keluarganya. Luka fisik di tubuh mungil itu seolah tak ada apa-apanya dibanding luka di hatinya.Bocah itu—yang belum lama kehilangan ayah, ibu, dan kakaknya—memandang tanpa kata. Di sebelahnya, selang infus bergoyang pelan, mengikuti gerakan tangan kecil yang lemah. Tangis AKBP Bimo pecah, sejenak melupakan atributnya sebagai seorang Kapolres, menunjukkan sisi manusiawi yang terpendam di balik tugas beratnya.

“Alhamdulillah, kondisinya membaik,” ujar Bimo, mencoba tegar saat diwawancarai setelah menjenguk SPY. Namun, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kegetiran mendalam. Ia tahu, meskipun fisik anak itu pulih, bayang-bayang malam kelam di rumahnya di Dusun Gondanglegi, Ngancar, takkan pernah benar-benar hilang.

Bimo bukan sekadar penegak hukum yang mengejar keadilan di balik kasus ini. Ada simpul emosi yang terjalin erat antara dirinya dan bocah tersebut. Melihat SPY, Bimo seperti melihat putranya sendiri, dan itu menghantam hatinya dengan keras. Sebuah tanggung jawab moral pun terpatri dalam dirinya: memberikan keadilan untuk SPY.

Tragedi ini bermula pada pagi Kamis, 5 Desember 2024, sekitar pukul 08.30 WIB. Warga di Dusun Gondanglegi, Kecamatan Ngancar, merasa curiga karena Agus Komarudin (38), seorang guru yang dikenal disiplin, tidak hadir mengajar tanpa pemberitahuan.

Kecurigaan semakin kuat ketika salah satu kerabatnya, Supriono, mencoba mengetuk pintu rumah Agus. Tak ada jawaban, tak ada tanda kehidupan. Dengan perasaan cemas, Supriono mengintip melalui jendela kamar dan dikejutkan oleh bercak darah di atas kasur. Ia tak berani masuk, tapi segera memanggil warga lain dan perangkat desa untuk memastikan keadaan.

Saat salah satu saksi mengintip melalui lubang kayu di dapur, pemandangan mengerikan terlihat: tangan seseorang tergeletak di lantai dapur. Polisi segera dipanggil, dan olah TKP pun dilakukan begitu mereka tiba di lokasi.

Di dalam rumah, petugas menemukan Agus Komarudin dan istrinya, Kristina (34), tergeletak tak bernyawa. Sang putri sulung mereka, CAW (12), juga ditemukan dalam kondisi serupa. Tubuh-tubuh mereka menunjukkan tanda-tanda kekerasan brutal.

Namun, harapan muncul di tengah duka ketika SPY, putra bungsu keluarga itu, ditemukan masih bernapas, meski dalam kondisi terluka parah. Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan perawatan intensif.

“Dugaan awal kami adalah pencurian dengan kekerasan yang berujung pembunuhan. Mobil korban, sebuah Avanza putih, diketahui hilang dari tempat kejadian,” ujar AKBP Bimo Ariyanto. Selain itu, sejumlah barang berharga di rumah korban juga dilaporkan hilang.

Autopsi dilakukan pada sore hari, sekitar pukul 18.00 WIB, untuk mengungkap penyebab pasti kematian para korban. Dari hasil awal, ditemukan bahwa kekerasan menggunakan benda tumpul menjadi penyebab utama.

Tanggung Jawab Seorang Kapolres

Bimo, yang dikenal sebagai sosok tegas dengan karier panjang di bidang reserse, kini menghadapi salah satu kasus paling mengharukan dalam tugasnya. Usai menjenguk SPY, ia langsung menuju lokasi kejadian, memimpin olah TKP, dan memberikan pernyataan kepada media.

“Kami tidak hanya mengejar pelaku, tetapi juga memastikan korban selamat ini mendapatkan perawatan medis dan psikologis yang diperlukan,” tegas Bimo.

Exit mobile version