Update Kasus Supriyani, Beda Perlakuan Ipda MI dan Aipda AM, Eks Kapolsek Dibawa ke Mapolda Sultra

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH  – Guru SDN 4 Baito, Konawe Selatan yakni Supriyani menjadi saksi dalam sidang etik dua polisi yakni ek Kapolsek Baito, Ipda MI dan Kanitreskrim Polsek Baito, Aipda AM di Polda Sulawesi Tenggara (Sultra).

Dari hasil sidang etik, Ipda MI dan Aipda AM mendapat saksi dalam kasus pemerasan terhadap keluarga Supriyani.

Namun terdapat perbedaan perlakuan untuk kedua petugas kepolisian itu.

Sanksi etik yang diberikan adalah demosi dan penempatan khusus (Patsus), Ipda MI bakal diamankan atau di-patsus di Mapolda Sultra.

Berbeda dengan Aipda AM yang akan menjalani Patsus di Polres Konawe Selatan.

Jumlah hari Patsus yang diberikan kepada keduanya juga berbeda.

Eks Kapolsek Baito mendaat sanksi patsus selama tujuh hari, sementara Aipda AM selama 21 hari.

Hukuman tersebut rencananya dilangsungkan pada Senin (9/12/2024).

“Karena yang bersangkutan ini tinggalnya di Konawe Selatan, kita mulainya hari Senin aja,” kata Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol Moch Sholeh saat ditemui di Polda Sultra, Kamis (5/12/2024).

Kabid Propam Polda Sultra menyampaikan keduanya memiliki pangkat berbeda. 

Menurut Sholeh, bagi perwira sanksi teguran sudah termasuk kategori keras.

“Dari segi pangkat bebeda ya, dengan melihat fakta-fakta persidangan dengan yang bintara beda. Untuk level perwira itu dengan teguran aja sudah keras apalagi di-patsus,” ungkap Sholeh.

Selain itu, peran Ipda MI sebagai pimpinan di Polsek Baito lebih pasif dalam kasus meminta uang kepada keluarga Supriyani.

“Dari fakta persidangan juga terbukti yang perwira tadi (Ipda MI) tidak aktif dan tidak secara eksplisit untuk meminta uang dalam kaitan kasus itu, ia hanya menerima,” jelas Kabid Propam.

Kombes Moch Sholeh mengatakan sanksi patsus dan demosi untuk dua personel Polres Konsel itu juga sudah cukup adil untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Karena selama sanksi demosi melekat, Ipda MI dan Aipda AM tidak mendapat hak-hak berupa tunjangan kinerja, tidak mendapat jabatan ataupun jenjang kenaikan pangkat.

“Artinya dengan demosi tadi satu tahun ataupun dua tahun sudah termasuk pengurangan hak-hak untuk tukin, kenaikan pangkatnya juga terhambat dan yang bersangkutan tidak ditaruh operasional atau staf,” jelasnya.

Omongan Pasar

Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol Iis Kristian mengatakan dari hasil sidang, majelis hakim etik memberikan sanksi demosi, patsus dan permintaan maaf ke institusi Polri.

“Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, ketua majelis hakim etik menjatuhkan putusan hukuman ke Ipda MI berupa patsus selama tujuh hari, demosi satu tahun, dan permintaan maaf kepada institusi Polri.”

“Selanjutnya terhadap Aipda AM, berdasarkan hasil yang terungkap di persidangan, memberikan hukuman berupa patsus selama 21 hari, demosi selama dua tahun dan sanksi etikanya permintaan maaf kepada institusi,” jelas Iis Kristian.

Sanksi ini karena Ipda MI dan Aipda AM mengakui perbuatannya meminta uang Rp2 juta ke guru Supriyani serta terbukti melanggar kode etik.

“Sanksi kode etik atas dugaan permintaan bantuan sejumlah uang terhadap pihak terkait (Supriyani) atas perkara yang sedang ditangani,” ucap Iis Kristian.

Sementara untuk permintaan uang Rp50 juta seperti yang diinformasikan sebelumnya, Polda Sultra tidak memberikan sanksi ke Ipda MI dan Aipda AM karena tidak cukup bukti.

Kombes Pol Iis menjelaskan permintaan uang Rp 50 juta hanya sebatas informasi yang beredar, sedangkan uang Rp2 juta diterima dan sudah dipakai membeli bahan bangunan renovasi ruangan Polsek Baito.

“Terkait angka 50 itu tidak ada, sempat dibahas juga di persidangan tapi tidak ada jadi tidak cukup bukti,” jelasnya.

Iis menyampaikan dari fakta sidang etik uang Rp50 juta tidak pernah diminta atau diungkapkan Ipda MI, Aipda AM maupun Aipda WH.

“Jadi itu awalnya informasi yang diterima oleh Aipda AM saat berada di pasar, sepintas dia dengar lalu dia sampaikan ke Pak Desa Wonua Raya apa benar ada uang Rp50 juta itu,” jelasnya.

“Jadi 50 juta itu cuman informasi yang beredar, cuman katanya-katanya,” lanjut Kombes Pol Iis Kristian.

Sementara uang Rp2 juta ada bukti dan uang itu diterima eks Kapolsek Baito saat diberikan langsung oleh Kades Wonua Raya.

Awalnya, Ipda MI tidak mengetahui uang yang diberikan Kepala Desa Wonua Raya dari keluarga Supriyani.

Karena saat itu, eks Kapolsek Baito hanya menyampaikan guru Supriyani tidak ditahan. 

Kemudian Ipda MI meminta bantuan ke kepala desa.

Adapun pernyataan bantuan ini, eks Kapolsek Baito tidak menyebut nominal atau angka ke Kepala Desa Wonua Raya.

“Pada saat Pak Desa berkunjung ke Polsek Baito memang diawali dengan menyampaikan ibu Supriyani tidak ditahan, kemudian ada pernyataan ‘Pak Desa bisa bantu nggak?’,” jelas Iis Kristian.

Dari pertemuan tersebut, Kepala Desa Wonua Raya memberikan uang kepada Ipda MI.

Uang Rp2juta itu diberikan hasil patungan uang Kepala Desa Wonua Raya dengan Katiran, suami Supriyani.

“Perkataan permintaan bantuan itu angkanya tidak disebut dan eks Kapolsek Baito tidak tahu uang itu dari Pak Desa.”

“Nah rupanya Pak Desa sampaikan ke Pak Katiran dan disepakati uang Pak Desa dipakai dulu seminggu kemudian diganti sama Pak Katiran,” jelas Kabid Humas Polda Sultra.

Kombes Pol Iis mengatakan dari permintaan uang Rp2 juta itu, kemudian Ipda MI dan Aipda AM disangkakan melanggar aturan sehingga menjalani sidang kode etik.

“Pejabat Polri itu tidak boleh baik langsung ataupun tidak langsung melakukan hubungan di luar dinas dengan pihak-pihak terkait perkara yang sedang ditanganinya,” tutupnya

Exit mobile version