BANDA ACEH – Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut institusi Polri sebagai pelaku dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbanyak sepanjang empat tahun terakhir. Pelanggaran ini meliputi extra judicial killing (pembunuhan di luar putusan pengadilan), penyiksaan, dan penyalahgunaan wewenang.”Mulai dari peristiwa extra judicial killing, penyiksaan, penyalahgunaan wewenang, dan sebagainya misalnya jika kami kompilasikan dari tahun 2020 hingga 2024,” ujar Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, dalam diskusi virtual bertajuk “Darurat Reformasi Polri!” dipantau di Jakarta, Minggu (8/12/2024).
Andi memaparkan, sepanjang periode tersebut terjadi 353 peristiwa kekerasan oleh Polri yang mengakibatkan 410 korban tewas. “Jadi peristiwa sebanyak 353 peristiwa kekerasan dengan mengakibatkan korban tewas sekitar 410 orang,” kata dia.
Dalam rentang Desember 2023 hingga November 2024 saja, KontraS mencatat 45 peristiwa extra judicial killing dengan total 47 korban jiwa. Dari jumlah tersebut, 27 kasus berkaitan dengan tindakan kriminal, sementara 20 lainnya tidak terkait tindakan kriminal.
Menurut Andi, tingginya angka pelanggaran ini disebabkan oleh kecenderungan aparat kepolisian untuk menggunakan kekerasan langsung, terutama penggunaan senjata api, tanpa prosedur yang terukur.
“Dalam konteks penggunaan senjata api tidak bisa kepolisian kemudian ketika di lapangan langsung menggunakan senjata api tanpa melalui terlebih dahulu tahapan-tahapan yang harus dilalui misalkan dengan peringatan, pendekatan penggunaan kekuatan secara lunak, dan sebagainya. Yang terjadi, polisi cenderung menggunakan penggunaan kekuatan yang sangat eksesif,” jelasnya.
KontraS juga menyoroti lemahnya pengawasan internal dan eksternal di tubuh Polri. Andi menilai pengawasan internal yang dilakukan Itwasum, Divisi Propam, dan lembaga pengawasan lainnya tidak berjalan efektif dalam menindak tegas anggota yang bermasalah, khususnya terkait penyalahgunaan senjata api.
“Institusi kepolisian mereka memiliki banyak layer pemantauan, banyak layer pengawasan, tetapi mekanisme-mekanisme kontrol, mekanisme pengawasan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga anggota yang kemudian melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang itu masih eksis dan juga tidak ditindak secara hukum,” ujar Andi.
Dari sisi eksternal, Andi menilai Polri tidak memiliki lembaga pengawas independen. Ia menyebutkan bahwa lembaga seperti Kompolnas dan Komnas HAM memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota Polri.
“Sisi eksternal kita belum memiliki lembaga pengawasan independen. Kita memang punya Komnas HAM, kita memang punya Kompolnas, tetapi dari kedua lembaga ini tidak memiliki kewenangan yang sangat kuat untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan apabila terjadi adanya penyalahgunaan kewenangan, tindakan brutalitas, extrajudicial killing, dan sebagainya,” jelasnya.