Setelah ada kesadaran pada para pimpinan, menurut Prabowo yang diperlukan selanjutnya adalah “penegakan hukum yang tegas dan keras.”
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa “omong-omong” Prabowo tersebut masih perlu pembuktian dengan langkah nyata. Ketua Pukat FH UGM, Totok Dwi Diantoro menyatakan, salah satu faktor anjloknya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belakangan adalah hilangnya independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
“KPK kini tidak lagi berada di puncak independensinya, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi,” ujar Totok dalam jumpa pers bulan lalu.
Pemerintahan Prabowo belum menegaskan soal bagaimana KPK akan kembali diberdayakan kembali untuk bertugas secara lebih independen. “Ini menjadi masalah serius karena KPK masih berada di bawah pengaruh eksekutif,” ucap Totok.
Komposisi calon pimpinan KPK yang dipilih DPR pekan lalu agaknya tak akan mengobati kekhawatiran itu. Alih-alih makin lepas dari elemen-elemen eksekutif, susunan pimpinan KPK dan dewan pengawasnya yang dipilih DPR justru makin penuh dengan aparat atau mantan aparat dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Pada posisi ketua KPK ada sosok Setyo Budiyanto sebagai ketua yang merupakan perwira tinggi Polri. Selanjutnya adalah Fitroh Rohcahyanto ia adalah seorang jaksa karir, demikian juga Johanis Tanak dari kejaksaan. Sedangkan Ibnu Basuki Widodo merupakan seorang hakim senior. Praktis, hanya Agus Joko Pramono yang sempat menjabat sebagai wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2023, bukan dari kalangan aparat.
Demikian juga di susunan Dewan Pengawas KPK 2024-2029, hanya seorang juga yang bukan aparat. Selainnya ada satu dari kepolisian, satu jaksa, dan dua hakim di susunan Dewan Pengawas KPK.
Para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute mengkritisi pimpinan KPK yang diisi oleh mayoritas penegak hukum. IM57+ Institute berpandangan hal ini akan berpengaruh pada efektivitas dari kerja KPK.
“Implikasi yang berpotensi terjadi adalah soal independensi KPK bukan hanya soal penindakan tetapi pelaksanaan supervisi atas kasus korupsi,” kata Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito kepada Republika, Jumat (6/12/2024).
Lakso menjelaskan KPK memiliki fungsi utama sebagai leader dalam upaya pemberantasan korupsi. Sehingga KPK diberikan kewenangan dalam melakukan supervisi terhadap penanganan kasus yang dilakukan institusi lain, termasuk Kejaksaan dan Kepolisian.
“Menjadi persoalan ketika pimpinan KPK masih menjabat sebagai aparat yang berasal dari institusi asal yang menjadi objek supervisi penanganan kasus,” ujar Lakso.
Ia juga menyoroti beberapa pimpinan memiliki masa jabatan yang masih panjang di institusi masing-masing. Ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan. “Dampaknya, efektivitas KPK dalam menjalankan fungsi penindakan dan supervisi berpotensi tidak efektif,” ujar Lakso.
Artinya, sejauh ini, pidato Prabowo soal keseriusan pemberantasan korupsi belum terlihat dalam aksi nyata. Presiden masih memiliki lima tahun masa jabatan. Mudah-mudahan tak perlu selama itu menanti habisnya korupsi di Tanah Air.