“Bahwa meskipun terdapat visum et repertum yang menjelaskan kematian Dini Sera Afrianti, namun hasil visum et repertum tersebut tidak serta merta menyatakan terdakwa lah sebagai pelaku perbuatan terhadap Dini Sera Afrianti, apalagi sampai adanya dugaan terdakwa melindas tubuh Dini Sera Afrianti sebagai sebab meninggalnya Dini Sera Afrianti karena tidak ada alat bukti yang membuktikan dugaan tersebut,” kata Soesilo.
Lebih jauh, kata Soesilo, hakim dalam perkara pidana mempunyai hak dan kewajiban mempertimbangkan secara cermat segala hal yang dapat membantu memperjelas perkara selama persidangan.
Menurutnya, hakim bisa menilai dengan cara menggali fakta-fakta dari keterangan saksi-saksi, ahli dan keterangan terdakwa yang dihadirkan di persidangan. Hal itu merupakan perwujudan tujuan hukum pidana yaitu mencari kebenaran materiel.
“Bahwa saksi-saksi yang telah memberikan keterangan di persidangan tidak dapat menerangkan perbuatan yang diduga dilakukan oleh terdakwa,” ucap Soesilo.
“Selain itu, apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian, maka dapat menggunakan alat bukti petunjuk yang merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena kesesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa,” lanjutnya.
Soesilo mengatakan bahwa alat bukti petunjuk dalam perkara a quo tidak dapat digunakan mengingat keterangan saksi-saksi secara jelas dan tegas tidak melihat dugaan perbuatan terdakwa. Selain itu, keterangan terdakwa pun secara tegas menyatakan tidak melakukan dugaan perbuatan sebagaimana dituduhkan penuntut umum.
“Selain itu pula dari bukti-bukti elektronik dari rekaman CCTV tidak menunjukkan terdakwa telah melindas tubuh Dini Sera Afrianti dengan menggunakan mobil terdakwa,” sebut Soesilo.
Diketahui, MA telah membatalkan vonis bebas Ronald Tannur. Dia kini dihukum lima tahun penjara atas perbuatan pidananya kepada Dini Sera.