BANDA ACEH – Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas merespons adanya usulan sertifikasi pendakwah. Menurutnya yang diperlukan bukanlah sertifikasi, melainkan kode etik pendakwah.
Kode etik bisa diterbitkan agar pendakwah tidak mudah mencaci, mengejek hingga menghina jemaah maupun orang lain seperti yang dilakukan Miftah Maulana alias Gus Miftah kepada pedagang es teh.
“Menurut saya yang penting kita bicarakan bukan sertifikasi dai, bukan standarisasi dai, bukan dai bersertifikat. Kesimpulan saya ya, adalah kode etik dai,” kata Anwar dalam acara Rakyat Bersuara bertajuk ‘Miftah Terselip Lidah, Butuh Sertifikat Pendakwah?’ di iNews, Selasa (10/12/2024) malam.
“Jangan sampai para dai ini, dengan mudah mencaci, memaki, mengejek, menghina. Karena yang membuat ribut itu saya rasa pelanggaran terhadap etik, bukan pelanggaran kompetensi dan keahliannya,” sambungnya.
Menurutnya, olok-olok yang dilakukan Miftah kepada pedagang es juga tidak ada hubungannya dengan substansi ceramah yang diberikan pada saat itu. Miftah hanya melanggar akhlak atau etika.
Sementara mengenai sertifikasi, menurutnya akan sangat sulit dilakukan. Pasalnya, setiap pendakwah memiliki mazhab yang berbeda-beda.
“Standarnya mana? Mazhabnya mana? Kan ada orang ikut Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, ada juga yang tidak bermazhab, kan gitu yah. Kalau seandainya ormas ini yang melakukan sertifikasi, ormas lain tidak setuju,” katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi VIII DPR Maman Imanul Haq menilai perlu adanya sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi pendakwah. Menurut Maman, adanya sertifikasi ini untuk meminimalkan kejadian Gus Miftah tersebut.
“Saya sebagai anggota DPR Komisi VIII, bilang Kementerian Agama harus segera bermusyawarah dengan ormas-ormas itu untuk melakukan standarisasi, lalu keluar sertifikat,” kata Maman dalam acara yang sama.
Dengan adanya sertifikasi ini, kata Maman, para pendakwah akan melalui proses yang panjang. Kemudian akan tersaring orang-orang yang paham dan tidak keluar dari koridor keagamaan saat berdakwah