EKONOMIFINANSIAL

Tax Amnesty dan PPN 12 Persen Barter Kebijakan, Nurani Prabowo Dipertanyakan?

image_pdfimage_print

OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM Expired Bank Aceh Syariah

   

ADVERTISEMENTS
Selamat Milah BPKH ke 7 Tahun

WACANA pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah menuai polemik di masyarakat. 

ADVERTISEMENTS
QRIS Merchant Bank Aceh Syariah

Dalam pandangan publik, kebijakan ini seolah menjadi barter yang kurang etis di tengah transisi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto

ADVERTISEMENTS
SMS Poin - Bank Aceh Syariah

Banyak pihak mempertanyakan sensitivitas sosial dan keberpihakan pemerintah terhadap keadilan fiskal di tengah situasi ekonomi yang menantang.

ADVERTISEMENTS
Selamat Hari Guru Nasional

Tax Amnesty: Jalan Pintas atau Pemicu Moral Hazard?

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM di Rumah, Action Mobile di Tangan

Tax amnesty sebelumnya telah dilaksanakan pada 2016 dan 2022 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kedua program ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperluas basis pajak, dan mendongkrak penerimaan negara. 

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hari KORPRI ke-53

Namun, ada konsekuensi serius dari pendekatan ini, yakni tergerusnya kepatuhan pajak secara jangka panjang.

Wacana tax amnesty jilid III, yang direncanakan untuk 2025 dengan cut-off data hingga 2024, menimbulkan pertanyaan besar. 

Mengapa program ini perlu diulang jika seharusnya tax amnesty merupakan kebijakan luar biasa yang hanya dilakukan sekali? 

Pengulangan program semacam ini dikhawatirkan menciptakan moral hazard di kalangan wajib pajak, yang merasa mereka selalu dapat “dimaafkan” oleh negara meskipun tidak patuh.

Di sisi lain, penerapan tax amnesty untuk ketiga kalinya dapat dianggap sebagai pengakuan atas kelemahan pemerintah dalam mengelola administrasi pajak. 

Berita Lainnya:
Crazy Rich Surabaya Budi Said Dituntut 16 Tahun Penjara Kasus Jual Beli Emas

Jika sistem pengawasan dan penegakan hukum perpajakan berjalan efektif, semestinya program seperti ini tidak perlu dilakukan berulang kali. Langkah ini juga mengirimkan sinyal bahwa pemerintah lebih memilih jalan pintas daripada menyelesaikan akar masalah kepatuhan pajak.

PPN 12 persen untuk Barang Mewah: Simbol Keadilan atau Beban yang Tidak Adil?

Di tengah wacana tax amnesty, pemerintah juga merencanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025, terutama untuk barang mewah. Secara teori, kenaikan ini dapat dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari kelompok masyarakat kaya, sehingga menciptakan keadilan fiskal. Namun, terdapat beberapa tantangan signifikan dalam implementasinya.

Pertama, definisi “barang mewah” sering kali menjadi perdebatan. Apakah barang-barang seperti kendaraan mewah, perhiasan, atau barang elektronik kelas atas akan masuk dalam kategori ini?

Jika definisi ini terlalu luas, kelas menengah yang berusaha meningkatkan kualitas hidupnya juga akan terkena dampak, memperparah ketimpangan ekonomi.

Kedua, kenaikan PPN berpotensi meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Meskipun kebijakan ini ditujukan untuk barang mewah, dalam praktiknya kenaikan PPN sering kali memiliki efek merembet ke sektor-sektor lain. Hal ini dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

Berita Lainnya:
Ternyata Ada Yayasan Tidak Tepat Terima Kucuran CSR BI

Ketiga, kenaikan PPN dapat memicu resistensi sosial. Di tengah ekonomi yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi, kebijakan ini dapat dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat. Konflik sosial bisa muncul jika masyarakat merasa bahwa pemerintah lebih mementingkan penerimaan pajak daripada kesejahteraan rakyat.

Barter Kebijakan yang Kontroversial

Jika dilihat secara keseluruhan, tax amnesty dan kenaikan PPN dapat dianggap sebagai barter kebijakan yang kontroversial. 

Di satu sisi, tax amnesty memberikan kelonggaran kepada wajib pajak yang tidak patuh, sementara di sisi lain, kenaikan PPN membebani masyarakat, termasuk kelas menengah. Kombinasi ini menciptakan kesan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada kalangan atas daripada rakyat biasa.

Barter ini juga memunculkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah terhadap reformasi perpajakan yang berkelanjutan. 

Jika tax amnesty terus dilakukan, apa insentif bagi wajib pajak untuk patuh di masa depan? Dan jika kenaikan PPN hanya menyasar barang mewah, sejauh mana kebijakan ini dapat menutup celah penerimaan negara yang ditinggalkan oleh tax amnesty?

Nurani Prabowo Dipertanyakan

Sebagai presiden baru, Prabowo Subianto diharapkan membawa perubahan signifikan dalam kebijakan fiskal dan ekonomi. Namun, wacana tax amnesty jilid III dan kenaikan PPN menimbulkan keraguan terhadap sensitivitas sosial pemerintah. 

Follow HARIANACEH.co.id untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya