OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
WACANA pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk barang mewah menuai polemik di masyarakat.
Dalam pandangan publik, kebijakan ini seolah menjadi barter yang kurang etis di tengah transisi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Banyak pihak mempertanyakan sensitivitas sosial dan keberpihakan pemerintah terhadap keadilan fiskal di tengah situasi ekonomi yang menantang.
Tax Amnesty: Jalan Pintas atau Pemicu Moral Hazard?
Tax amnesty sebelumnya telah dilaksanakan pada 2016 dan 2022 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kedua program ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperluas basis pajak, dan mendongkrak penerimaan negara.
Namun, ada konsekuensi serius dari pendekatan ini, yakni tergerusnya kepatuhan pajak secara jangka panjang.
Wacana tax amnesty jilid III, yang direncanakan untuk 2025 dengan cut-off data hingga 2024, menimbulkan pertanyaan besar.
Mengapa program ini perlu diulang jika seharusnya tax amnesty merupakan kebijakan luar biasa yang hanya dilakukan sekali?
Pengulangan program semacam ini dikhawatirkan menciptakan moral hazard di kalangan wajib pajak, yang merasa mereka selalu dapat “dimaafkan” oleh negara meskipun tidak patuh.
Di sisi lain, penerapan tax amnesty untuk ketiga kalinya dapat dianggap sebagai pengakuan atas kelemahan pemerintah dalam mengelola administrasi pajak.
Jika sistem pengawasan dan penegakan hukum perpajakan berjalan efektif, semestinya program seperti ini tidak perlu dilakukan berulang kali. Langkah ini juga mengirimkan sinyal bahwa pemerintah lebih memilih jalan pintas daripada menyelesaikan akar masalah kepatuhan pajak.
PPN 12 persen untuk Barang Mewah: Simbol Keadilan atau Beban yang Tidak Adil?
Di tengah wacana tax amnesty, pemerintah juga merencanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025, terutama untuk barang mewah. Secara teori, kenaikan ini dapat dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari kelompok masyarakat kaya, sehingga menciptakan keadilan fiskal. Namun, terdapat beberapa tantangan signifikan dalam implementasinya.
Pertama, definisi “barang mewah” sering kali menjadi perdebatan. Apakah barang-barang seperti kendaraan mewah, perhiasan, atau barang elektronik kelas atas akan masuk dalam kategori ini?
Jika definisi ini terlalu luas, kelas menengah yang berusaha meningkatkan kualitas hidupnya juga akan terkena dampak, memperparah ketimpangan ekonomi.
Kedua, kenaikan PPN berpotensi meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Meskipun kebijakan ini ditujukan untuk barang mewah, dalam praktiknya kenaikan PPN sering kali memiliki efek merembet ke sektor-sektor lain. Hal ini dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Ketiga, kenaikan PPN dapat memicu resistensi sosial. Di tengah ekonomi yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi, kebijakan ini dapat dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat. Konflik sosial bisa muncul jika masyarakat merasa bahwa pemerintah lebih mementingkan penerimaan pajak daripada kesejahteraan rakyat.
Barter Kebijakan yang Kontroversial
Jika dilihat secara keseluruhan, tax amnesty dan kenaikan PPN dapat dianggap sebagai barter kebijakan yang kontroversial.
Di satu sisi, tax amnesty memberikan kelonggaran kepada wajib pajak yang tidak patuh, sementara di sisi lain, kenaikan PPN membebani masyarakat, termasuk kelas menengah. Kombinasi ini menciptakan kesan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada kalangan atas daripada rakyat biasa.
Barter ini juga memunculkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah terhadap reformasi perpajakan yang berkelanjutan.
Jika tax amnesty terus dilakukan, apa insentif bagi wajib pajak untuk patuh di masa depan? Dan jika kenaikan PPN hanya menyasar barang mewah, sejauh mana kebijakan ini dapat menutup celah penerimaan negara yang ditinggalkan oleh tax amnesty?
Nurani Prabowo Dipertanyakan
Sebagai presiden baru, Prabowo Subianto diharapkan membawa perubahan signifikan dalam kebijakan fiskal dan ekonomi. Namun, wacana tax amnesty jilid III dan kenaikan PPN menimbulkan keraguan terhadap sensitivitas sosial pemerintah.
Kebijakan ini dapat dianggap mencerminkan pendekatan yang pragmatis, tetapi kurang mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Dalam konteks ini, nurani Prabowo sebagai pemimpin dipertanyakan. Apakah kebijakan ini benar-benar mencerminkan komitmennya untuk memperjuangkan keadilan sosial? Ataukah kebijakan ini hanya merupakan kelanjutan dari pendekatan pragmatis pemerintahan sebelumnya yang lebih fokus pada penerimaan negara daripada keadilan fiskal?
Prabowo juga perlu menjawab kritik tentang transparansi dalam pengelolaan penerimaan pajak. Jika tax amnesty jilid III kembali dilaksanakan, bagaimana masyarakat dapat yakin bahwa dana yang terkumpul akan digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk proyek-proyek mercusuar yang kurang berdampak langsung?
Alternatif Solusi: Reformasi Sistemik dan Transparansi
Sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan reformasi sistem perpajakan yang lebih sistemik dan transparan. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
Pertama, Penguatan Pengawasan Pajak
Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum perpajakan agar wajib pajak merasa ada konsekuensi nyata jika tidak patuh.
Kedua, Peningkatan Edukasi Pajak
Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pajak dan bagaimana kontribusi mereka dapat meningkatkan kesejahteraan bersama.
Ketiga, Digitalisasi Sistem Pajak
Memanfaatkan teknologi untuk mempermudah proses administrasi pajak dan meminimalkan kebocoran penerimaan.
Keempat, Transparansi Penggunaan Pajak
Memastikan bahwa penerimaan pajak digunakan untuk program-program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Catatan Penting
Wacana tax amnesty jilid III dan kenaikan PPN menjadi 12 persen untuk barang mewah mencerminkan dilema dalam kebijakan fiskal Indonesia.
Di satu sisi, pemerintah berusaha meningkatkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan mempertanyakan komitmen terhadap keadilan fiskal.
Prabowo Subianto sebagai presiden baru perlu menunjukkan kepemimpinan yang berani dengan mengutamakan reformasi sistemik dan transparansi dalam pengelolaan pajak.
Hanya dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan, pemerintah dapat membangun kepercayaan masyarakat dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih kokoh untuk masa depan.
Nurani Prabowo akan diuji dalam mewujudkan kebijakan yang benar-benar mencerminkan keberpihakan kepada rakyat, bukan sekadar barter antara kepentingan fiskal dan keadilan sosial. Sebab, pada akhirnya, keadilan adalah fondasi utama dari sistem perpajakan yang berkelanjutan.
(Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)