BANDA ACEH – Pemerintah Aceh melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) terus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum di sektor perikanan. Langkah tegas terbaru dilakukan terhadap satu bagan apung tidak berizin yang beroperasi di Lhok Air Pinang yang juga terletak di kawasan konservasi Pulau Pinang, Pulau Siumat, dan Pulau Simanaha (PISISI) di perairan Pulau Simeulue pada Rabu, 11 Desember 2024.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Aliman, S.Pi, M.Si menyampaikan bahwa kegiatan pengawasan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh DKP Aceh bekerjasama dengan Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Lampulo, Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Dit Polairud) Polda Aceh dan POKMASWAS.
Tim yang dipimpin oleh Pengawas Perikanan Ahli Muda DKP Aceh, Samsul Bahri, S.Pi., M.P., melakukan penyegelan dan penghentian sementara satu unit bagan apung milik warga Simeulue Timur berinisial SR (38).
Kepada media, Sabtu 14/12/2024, Aliman menjelaskan, langkah penyegelan ini dilakukan petugas setelah melalui beberapa proses, mulai dari menerima laporan masyarakat tentang aktivitas ilegal di kawasan konservasi tersebut. Bahkan sebelumnya, SR sudah mendapatkan surat teguran/peringatan oleh perangkat sidang adat laut Lhok Air Pinang agar memindahkan bagan apung tersebut.
Sidang adat terhadap SR dilakukan karena aktivitas bagan tersebut juga melanggar aturan adat Lhok Air Pinang. Namun, karena peringatan tersebut diabaikan oleh pemilik, perangkat adat menyerahkan penyelesaian kasus perikanan tersebut kepada Pemerintah Aceh melalui DKP.
Pengawas Perikanan, Samsul Bahri, S.Pi., M.P yang memimpin kegiatan ini menyampaikan “SR telah melanggar Undang-Undang sektor kelautan dan perikanan yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Temuan ini diperoleh setelah dilakukan pemeriksaan dan upaya persuasif terhadap SR pada bulan Juli lalu. Pasca pemeriksaan itu DKP Aceh juga telah melayangkan teguran pertama kepada SR untuk menghentikan sementara kegiatan melanggar aturan tersebut. Namun, karena teguran ini diabaikan, DKP Aceh kembali melayangkan surat teguran kedua terakhir pada November, yang berisi peringatan tindakan paksaan oleh pemerintah jika kapal tidak segera dipindahkan”.
Akhirnya, pada 11 Desember 2024, setelah berkoordinasi dengan aparatur Desa dan memanggil pemilik bagan, SR secara sukarela memindahkan bagan apung dan menandatangani berita acara penyegelan. “Kami memberikan tanda Segel yang disertai Garis Pengawas Perikanan sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021” lanjut Samsul.
Kepala DKP Aceh, Aliman, S.Pi., M.Si, menyatakan, “Kami masih menemukan adanya kapal perikanan yang tidak mematuhi aturan dan belum memiliki izin berusaha. Kami mengingatkan para pelaku usaha agar menjalankan usaha penangkapan ikan secara legal, sesuai aturan, dan melaporkan aktivitasnya sesuai peraturan perundang-undangan.”
“Pengawasan dan tindakan tegas ini terpaksa kami lakukan untuk mendorong kepatuhan pelaku usaha penangkapan ikan di Aceh. Paksaan pemerintah berupa penghentian sementara usaha bagan SR dilakukan karena aktivitas bagan apung ini dinilai telah menimbulkan dampak ekonomi dan sosial-budaya yang negatif, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang lebih besar jika tidak dihentikan. Selain tidak berizin, Daerah Penangkapan Ikan bagan milik SR juga tidak sesuai dengan Jalur Penangkapan Ikan yang telah diatur” tutur Aliman.
“Saudara SR tidak diperbolehkan merusak segel atau mengoperasikan bagan sebelum mengurus perizinan berusaha. Sebagai tindak lanjut atas ketidaktaatan perizinan, SR telah bersedia menaati pengurusan perizinan berusaha. Namun segala tindakan melawan hukum pasca penyegelan dapat menyebabkan pemilik diproses lebih lanjut hingga dikenakan sanksi administratif yang lebih tegas oleh Pemerintah,” tegas Aliman.
DKP Aceh juga mengimbau seluruh pelaku usaha perikanan di Aceh untuk mematuhi aturan tentang perizinan berusaha, daerah penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan, termasuk mematuhi hukum adat laut yang menjadi salah satu kekayaan budaya maritim Aceh.