LEMBAGA Swadaya Masyarakat (LSM) Flower Aceh menyatakan mulai menerima aduan mahasiswa yang melakukan self harm atau melukai diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi karena tidak kuat menghadapi tekanan kampus maupun keluarga. Demikian pemberitaan yang dimuat di laman aceh.antaranews.com pada 11/12/2024. Selain itu Flower Aceh juga mencatat self harm juga dilakukan oleh korban pelecehan dan kekerasan seksual untuk melampiaskan emosinya.
Self harm atau perilaku menyakiti diri sendiri dimaknai sebagai perilaku melukai diri sendiri dengan berbagai cara tanpa memandang ada atau tidaknya niat dan keinginan untuk mati (NICE, 2015;WHO, 2015). Fenomena ini merupakan fenomena penting dalam bidang kesehatan jiwa yang dapat terjadi baik pada seseorang yang terkategori normal maupun mereka dengan diagnosis gangguan jiwa.
Perilaku self harm sendiri merupakan bentuk kegagalan seseorang dalam mengatasi masalah dan mengendalikan situasi ketika menghadapi stress. Meski tidak semua orang dengan perilaku self-harm akan berlanjut dengan aksi bunuh diri, namun tetap saja self harm memiliki resiko ringgi untuk melakukan hal tersebut. Apalagi jika self harm dilakukan secara intens menimbulkan luka serius, dapat pula disertai dengan keinginan bunuh diri yang muncul secara intensif, maka self harm dapat menghantarkan pada kematian.
Jurnal Psikiatri Surabaya Volume 8 Nomor 1 memuat penelitian Kusumadewi AF dkk, yang berjudul Self-Harm Inventory Versi Indonesia Sebagai Instrumen Deteksi Dini Perilaku Self-Harm bahwa metode menyakiti diri yang terbanyak dilakukan oleh wanita adalah mengiris atau menyayat kulit, memperburuk kondisi medis dengan tidak mematuhi anjuran pengobatan, serta pikiran menyalahkan diri sendiri.
Sedangkan pada laki-laki paling banyak memukul diri, membentur-benturkan kepala, menyetir dengan ceroboh serta keluar dari pekerjaan dengan sengaja. Pada kedua jenis kelamin ditemukan adanya kesamaan jenis perilaku ide bunuh diri, overdosis serta menjauhi Tuhan dengan cara tidak beribadah.
Adapun dunia kampus tentu memiliki dinamikanya sendiri, sebagaimana kehidupan lain pada umumnya. Mahasiswa dengan kehidupan kampusnya dapat saja mengalami tekanan akademik yaitu tekanan mental karena tuntutan akademik seperti beban tugas, skripsi, tekanan untuk dapat meraih nilai tertentu, bisa juga berupa ekspektasi orang tua dan lingkungan yang memerlukan perjuangan keras untuk mewujudkannya. Tekanan-tekanan ini dapat memicu stress yang berdampak terhadap kesehatan mental.
Di sisi lain, permasalahan dapat berupa adaptasi ke lingkungan baru yang tak kunjung kondusif. Teman-teman yang tidak satu frekuensi, atau justru mendapatkan perlakuan buruk seperti perundungan. Mahasiswa juga acap kali depresi karena kesulitan finansial seperti membayar biaya perkuliahan sekaligus mengatur biaya hidup.
Sebagaimana yang kita pahami bahwa isu terbaru tentang pendidikan tinggi di Indonesia adalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh sejumlah kampus di Tanah Air. Bukan hanya orang tua yang membiayai kuliah yang dilanda stress karena UKT, pihak yang paling terdampak adalah mahasiswa itu sendiri.
Persoalannya akan semakin ruwet jika mahasiswa tersebut juga terjebak dalam gaya hidup yang tidak sehat seperti hedonisme, terlibat pinjaman online atau judi online. Dan tak dipungkiri hal ini memang menimpa civitas akademika di Aceh. Laporan serambinews.com pada 25/7/2024 memaparkan bahwa pihak Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menemukan banyak dosen dan mahasiswa yang terindikasi bermain judi online dan terlibat pinjol. Bahkan pihak kampus telah menetapkan sanksi tegas bagi dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa yang terlibat judi online.
Keputusan itu sangat tepat. Dunia kampus adalah dunia para pemikir, agent of change yang akan meneruskan tongkat kepemimpinan dan menentukan corak peradaban bangsa ini. Untuk tugas seberat dan sepenting itu tentu fenomena ini tak dapat dinormalisasi.
Self harm merupakan salah satu upaya seseorang untuk menghukum dirinya sendiri atau sebagai pengalihan rasa sakit karena ekspektasi yang tak dapat diwujudkan. Ini bukan hanya masalah gaya komunikasi, pola pengasuhan, konsep diri negatif atau self control lemah. Namun jauh lebih kompleks dari semua itu.
Ini adalah masalah keimanan. Hidup ini tidak akan selamanya flat, datar dan lancar. Kadang kita dihantam badai dan kadang diseret gelombang besar, begitulah hidup. Seorang sekuler yang memperlakukan keimanan layaknya hidangan prasmanan, akan kebingungan di tengah perjalanan, kehilangan harapan, kering dan layu oleh rayuan syeitan.
Kita mendapati, para pemuda sebagiannya mahasiswa memposting tangan yang telah diiris-iris benda tajam berlumuran darah, entah apa yang terlintas dalam pikirannya, flexing kah?, mengharap kasihan kah? Atau sekadar berbagi suasana hati? Mereka tampak begitu rapuh.
Sebagai fakta pembanding, mari kita saksikan kehidupan di Palestina. Mereka adalah entitas yang paling menderita saat ini, namun mengapa generasinya begitu kuat? Bahkan kanak-kanak sekalipun, mereka tetap sabar dan berbaik sangka pada Allah. Apakah kita pernah mendengar mereka melakukan self harm?? Atau sejenis itu? Tidak pernah. Mengapa?
Karena iman itu saja. Fenomena Self harm ini sepenuhnya ranah keimanan. Toh para pakar Psikologi mengakui itu, dan menjadikannya faktor kesekian. Padahal inilah masalah utamanya, jauhnya manusia dari ikatannya kepada Allah, Pencipta dan Pengatur kehidupannya. Lalu terapi apa yang layak dijalankan? Tentu saja terapi keimanan.
Mahasiswa kita telah mengarungi kehidupannya dalam kancah sekuler, belajar dengan sudut pandang sistem pendidikan kapitalis yang bersandar pada materi dan kepuasan jasadi. Mereka perlu dikenalkan kembali kepada Tauhid, perlu mengenal dirinya sebagai hamba, untuk kemudian paham mengapa dan harus bagaimana menjalani hidup. Yang paling penting adalah bahwa akan ada hari perhitungan. Diharapkan mereka akan sampai pada satu-satunya tujuan hidup yaitu meraih keridhaan Allah.
Inilah kepingan puzzle yang telah hilang dari generasi kita. Hanya keimanan yang kuat yang mampu menjamin para pelaku self harm menghentikan perilakunya. Ketika iman mengakar dalam diri, maka ia akan mengkristal dan mempengaruhi perilaku. Islam mengajarkan setiap Muslim untuk memiliki tekad yang besar menghadapi tantangan. Tidak diperbolehkan untuk berdalih apapun agar dapat lari dari kenyataan hidup sekalipun dunianya runtuh dan mimpi-mimpinya hancur.
Seorang Mukmin dilarang untuk berbuat dharar dan menganiaya diri sendiri. Allah SWT berfirman;
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (TQS. An-Nisa;29).
Seorang Mukmin diciptakan untuk berjuang, bukan untuk berdiam diri, dia mempunyai senjata yang tidak akan pernah tumpul dan bekal yang tak akan pernah habis, yaitu senjata iman yang teguh dan bekal kepribadian yang kuat.
Apakah pilar ketakwaan individu cukup untuk menghentikan fenomena self harm ini? Tentu tidak. Kita butuh pilar kontrol masyarakat untuk senantiasa menghidupkan tradisi amal makruf nahi mungkar. Sensor-sensor kepedulian sesama harus dihidupkan kembali. Perlu pembinaan umum bagi generasi muda untuk kembali menempuh jalan Islam dan bangga dengan identitas Islam.
Kita menyaksikan bagaimana pilar kontrol sosial kini telah demikian rapuh, generasi kita dibina secara jor-joran menjadi sekrup-sekrup kapitalisme, sibuk dengan program-program wirausaha, jungkir-balik mengejar dunia. Ketika mimpinya hancur tak ada yang peduli. Tak ada yang menariknya dari kubangan lumpur, tidak ada yang peduli membimbingnya ke masjid dan majelis-majelis ilmu. Akhirnya para mahasiswa itu menyembunyikan lukanya seraya melakukan self harm untuk mengalihkan kepedihannya.
Terakhir, amatlah penting adanya peran negara dalam pemberdayaan pemuda Muslim. Pemimpin sejati akan sangat peduli pada keberlanjutan kepemimpinan dan peradaban bangsanya, maka mewujudkan pemuda Muslim yang kuat akan menjadi salah satu visi kepemimpinannya. Dalam kondisi yang demikian, fenomena self harm akan hilang dengan sendirinya.
Inilah terapi yang harus dijalankan untuk menjawab fenomena self harm yang mulai merebak di kalangan mahasiswa Aceh. Kembalilah kepada Islam, satu-satunya jalan yang telah ditempuh oleh generasi kuat, yang telah mewariskan jejaknya selama 13 abad dalam kepemimpinan Islam.[]