BANDA ACEH – Keterlibatan beberapa perusahaan swasta seperti Grab dan OVO dalam program makan siang gratis (MBG) yang diusung oleh Pemerintah Indonesia menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan.Pasalnya, keterlibatan swasta dalam program seperti MBG memerlukan tingkat transparansi yang tinggi. Tanpa itu, risiko munculnya konflik kepentingan menjadi sangat besar.
Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat, terdapat sejumlah pertanyaan mendasar terkait motif, transparansi, dan keberlanjutan program yang harus dijawab agar inisiatif ini tidak sekadar menjadi “pencitraan” untuk kepentingan bisnis swasta.
“Pertanyaan ini relevan, terutama mengingat regulasi di sektor teknologi dan fintech yang sering kali memberatkan pelaku usaha,” kata Achmad ketika dihubungi oleh Disway pada Selasa 17 Desember 2024.
Selain itu, Achmad melanjutkan, keterlibatan swasta dalam program sosial harus dilakukan secara proporsional agar tidak menciptakan ketergantungan pemerintah pada entitas bisnis tertentu.
“Dalam kebijakan publik, keberhasilan suatu program tidak hanya diukur dari jumlah orang yang terlibat, tetapi juga dari dampak yang dihasilkan,” tegas Achmad.
Dalam hal ini, Achmad menilai bahwa pihak Grab dan OVO juga harus menunjukkan transparansi mereka dalam mempublikasikan hasil program, termasuk alokasi dana, jumlah penerima manfaat, dan keterlibatan mitra lokal.
Transparansi ini sendiri penting untuk menghindari persepsi negatif dari publik.
Selain itu, Pemerintah juga harus berhati-hati agar keterlibatan swasta tidak menciptakan ketergantungan yang melemahkan posisi mereka dalam pengambilan kebijakan.
Program MBG harus tetap menjadi inisiatif pemerintah yang didukung oleh swasta, bukan sebaliknya.
“Keberhasilan MBG perlu dievaluasi secara berkala oleh pihak independen untuk memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat sosial, bukan sekadar alat promosi bisnis,” tutup Achmad.