Serta andai saja penguasa legislatif atas usulan petinggi eksekutif kontemporer, tega melupakan prinsip teori Jas Merah terhadap sejarah hancur sebuah negara oleh sebab para penguasa (raja-raja) hedonist.
Dan andai ternyata penguasa rezim berhasil mem-pressur dan kerdilkan adagium bijak dari para filosof Yunani, bahwa yang dapat menyelamatkan dan mensejahterakan atau membahagiakan manusia, maka bangsa (rakyat) di negara dimaksud harus menjadikan status hukum sebagai yang superior (salus populi supreme lex esto).
Kembali kepada wacana Yusril dengan wacana hukum atas dasar United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang 7/2006 tentu pastinya penguasa di bidang hukum (Yusril Cs) jangan terburu-buru bak kebelet pipis, karena para stakeholder (penguasa dibidang hukum) membutuhkan kepastian hukum (legalitas), pengkajian dan pendalaman terlebih dahulu (observasi dan kompleks) diawali hakekat tujuan berdirinya negara RI sebagai salah satu dasar sumber hukum nasional negara kita dan dikaitkan unsur daripada sila KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAYAT INDONESIA juga menganalisa dan hormati sistim konstitusi UUD. 1945 dengan doktrin hukum “semua orang sama dihadapan hukum (equality before the law), lalu bagaimana menyelaraskan agar hindari overlap terhadap eksistensi prinsip-prinsip keberlakuan sistim hukum yang hirarkis dan banyak di bawahnya, yaitu; Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tipikor, Good Government principle, KUHAP dan Pasal 52 KUHP tentang penambahan sanski hukuman kepada para apartur negara yang melakukan penyelewengan fungsi dan tugasnya? Tentu ada benang merah amandemen UUD. 1945? Karena berdampak kausalitas dengan sistim hukum dibawahnya?
Sekali lagi Yusril butuh pola intensif dan sharing dengan para pakar hukum (akademisi dan aktivis & praktisi hukum), jangan buang-buang anggaran di DPR RI lalu kelak sia-sia di Mahkamah Konstitusi.
Penutup, dapat disimpulkan andai saja keadilan dijadikan objek voting, maka terhadap bangsa dan negara ini demi mencegah kerusakan pada semua sektoral ketahanan negara (politik dan moralitas, ekonomi, hukum serta budaya) serta menghindari bertambahnya cacat sejarah kepemimpinan pasca Joko Widodo, memang amat dan sangat butuh revolusi akhlak atau gerakan kebangkitan moralitas bangsa, agar kelak penguasa dan bangsa ini terhindar dari semiotika dengan predikat jahiliyah atau “bloon dan jahat” kepada bangsanya sendiri serta “amoral” dimata internasional. (*)