Oleh: Damai Hari LubisPengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Santer berita wacana dari Menko Hukum Dan Ham, Prof. Yusril Ihza Mahendra yang seolah ingin menjustifikasi dengan pola memaafkan pelaku korupsi (asal) para koruptor mengembalikan uang hasil korupsinya, sebagai bentuk “strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery)”, dan kata Yusril wacana ini sudah memiliki backup sistim hukumnya yaitu sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang 7/2006.
Bahwa menurut teori dan asas-asas hukum pidana, fungsi hukum adalah:
1. Kepastian (legality);
2. Manfaat (utility);
3. Keadilan (justice)
Dalam praktik law enforcement (penegakan hukum) ditanah air, teori demi mencapai ketiga fungsi hukum tersebut direncanakan akan “direncanakan bakal” tidak relevan lagi, sehingga bakal timbulkan over lapping pada sistim hukum yang sedang belaku, bahkan menggerus habis asas legalitas dan makna hukumnya sebagai asas norma positif yang wajib dipedomani dan harus berlaku (ius konstitum).
Namun seperti lumrah, ketika beberapa orang pencuri gulungan kabel, beberapa buah lampu atau pagar besi sebagai barang milik gedung perkantoran pemerintah (barang/ benda kasat mata). Lalu pencurinya yang tertangkap digebuki lalu disel, dan selanjutnya menunggu puluhan hari untuk menjemput vonis penjara, melalui Penuntut Umum berikut sebagian kecil sampel dari barang bukti milik negara dengan sepotong kabel, sebuah bola lampu dan beberapa potong kecil besi dari sekian banyak barang bukti yang ada dan sudah disita oleh petugas aparatur negara yang tersimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN).
Lalu terpenuhi kah logika keadilan dari ketiga asas dengan fungsi hukum tersebut? Ketika Kantor milik pemerintah (milik negara) yang di maling dengan jenis barang kabel, bola lampu serta pagar besinya dicuri (dirusak), sedangkan didalam kantor yang sama dengan kantor yang dijarah oleh para maling kecil, yang akhir ilustrasinya adalah dipenjara, dengan perbandingan para koruptor/ para maling didalam kantor yang sama, namun beda nominal, yakni kerugian mencapai triliunan yang hanya cukup dengan mengembalikan uang hasil korupsi dengan barang bukti uang atau barang kepada negara, entah hanya sebagian kecil, karena barang yang berbentuk nominal rat-rata uang yang tidak kasat mata, kemudian pada akhirnya para maling uang negara bebas melenggang.
Komparasi daripada sifat keadilan lainya adalah:
1. Para maling uang negara, akibatkan kerugian triliunan bahkan ratusan triliun. Pleger dan Medel pleger, adalah para penyelenggara yang konspirasi dengan para pengusaha (state corporate crime ) atau kejahatan yang dilakukan oleh kaum berdasi (white collar crime).
2. Pleger dan atau medelpleger (pelaku/ para maling) pencurian gulungan kabel beda perlakuan ketika tertangkap dan akibat kerugian negara nominal hanya jutaan rupiah, yang beda kelas? Maka para pencuri pagar, karena orang-orang rendahan (blue collar crime) dan kejahatannya kasar mata sulit untuk disembunyikan.
Dan yang sebenar-benarnya, andai diakumulasi hasil para maling white collar crime selama bangsa ini merdeka, atau sekedar orba sampai orde reformasi khususnya di era Jokowi, nominal kerugian negara bisa mencapai ribuan triliunan, yang deskripsinya melalui estimasi sementara, uang korupsi dimaksud dapat digunakan sebagai anggaran untuk membangun 10 IKN (Ibu kota Negara) atau lebih, atau sejumlah puluhan kota besar provinsi berikut berbagai fasilitas, plus biaya gratis pendidikan sekolah seluruh anak bangsa sejak TK sampai perguruan tinggi, demi memenuhi amanah pasal wajib belajar Jo. Pasal 31 UUD. 1945.
Maka, patut kah keadilan sebagai subtansial dari puncak tertinggi daripada ketiga fungsi hukum tersebut dihapuskan dengan suara representatif 2/3 dari 580 wakil rakyat, atau hakikat keadilan kalah oleh sebab voting.
Sehingga mengutif teori OTSJUBEDIL ( Objektif Terstruktur Sistematis Jujur Benar dan Adil, berikut satire atau majas yang menyertainya dengan istilah dari Aktivis Muslim kawan dekat Penulis/Pengamat Prof Dr. Eggi Sudjana kepada pengusul “pemaksaan” diskresi politik dengan menggunakan voting atau tanpa voting, siapapun orang atau jabatannya berikut pemilik kebijakan, disampaikan majas kepada mereka “sebagai intelektual tapi oon” Atau amat layak dan bijak filosofi Sang Imam Besar negeri ini Dr. Habib Rizieq Shihab yang vokal mencetuskan perlawanan terhadap teori revolusi mental yang realitas praktik dan hasilnya adalah kerusakan mentalitas bangsa, dengan metode Revolusi Akhlak atau mengajak kebangkitan moralitas terhadap seluruh bangsa.
Serta andai saja penguasa legislatif atas usulan petinggi eksekutif kontemporer, tega melupakan prinsip teori Jas Merah terhadap sejarah hancur sebuah negara oleh sebab para penguasa (raja-raja) hedonist.
Dan andai ternyata penguasa rezim berhasil mem-pressur dan kerdilkan adagium bijak dari para filosof Yunani, bahwa yang dapat menyelamatkan dan mensejahterakan atau membahagiakan manusia, maka bangsa (rakyat) di negara dimaksud harus menjadikan status hukum sebagai yang superior (salus populi supreme lex esto).
Kembali kepada wacana Yusril dengan wacana hukum atas dasar United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang 7/2006 tentu pastinya penguasa di bidang hukum (Yusril Cs) jangan terburu-buru bak kebelet pipis, karena para stakeholder (penguasa dibidang hukum) membutuhkan kepastian hukum (legalitas), pengkajian dan pendalaman terlebih dahulu (observasi dan kompleks) diawali hakekat tujuan berdirinya negara RI sebagai salah satu dasar sumber hukum nasional negara kita dan dikaitkan unsur daripada sila KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAYAT INDONESIA juga menganalisa dan hormati sistim konstitusi UUD. 1945 dengan doktrin hukum “semua orang sama dihadapan hukum (equality before the law), lalu bagaimana menyelaraskan agar hindari overlap terhadap eksistensi prinsip-prinsip keberlakuan sistim hukum yang hirarkis dan banyak di bawahnya, yaitu; Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tipikor, Good Government principle, KUHAP dan Pasal 52 KUHP tentang penambahan sanski hukuman kepada para apartur negara yang melakukan penyelewengan fungsi dan tugasnya? Tentu ada benang merah amandemen UUD. 1945? Karena berdampak kausalitas dengan sistim hukum dibawahnya?
Sekali lagi Yusril butuh pola intensif dan sharing dengan para pakar hukum (akademisi dan aktivis & praktisi hukum), jangan buang-buang anggaran di DPR RI lalu kelak sia-sia di Mahkamah Konstitusi.
Penutup, dapat disimpulkan andai saja keadilan dijadikan objek voting, maka terhadap bangsa dan negara ini demi mencegah kerusakan pada semua sektoral ketahanan negara (politik dan moralitas, ekonomi, hukum serta budaya) serta menghindari bertambahnya cacat sejarah kepemimpinan pasca Joko Widodo, memang amat dan sangat butuh revolusi akhlak atau gerakan kebangkitan moralitas bangsa, agar kelak penguasa dan bangsa ini terhindar dari semiotika dengan predikat jahiliyah atau “bloon dan jahat” kepada bangsanya sendiri serta “amoral” dimata internasional. (*)