BANDA ACEH – Pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar soal keberadaan rumah ibadah di komplek perumahan viral di masyarakat. Dia sempat mengutarakan keheranannya tidak terdengar suara azan di perumahan elit Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta.
Dia lantas memberikan penjelasan lebih komplit mengenai pernyataan tersebut. Nasaruddin mengajak masyarakat untuk menjadikan kawasan di Indonesia sebagai kota religi.
Itu ditandai dengan kehadiran beragam rumah ibadah. Baik itu masjid, gereja, pura, wihara, klenteng, dan lainnya.
Nasaruddin mengatakan, kehadiran rumah ibadah sangat penting sebagai sarana umat. Menjadi sarana untuk menghidupkan suasana batin dan religiusitasnya.
“Rumah Ibadah bisa menjadi oase yang menghidupkan suasana batin dan religiusitas masyarakat,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal itu pada Selasa (24/12) malam.
Mantan Wakil Menteri Agama itu mengatakan, kalau ada perkampungan atau permukiman masyarakat tanpa rumah ibadah, nanti jangan-jangan terasa kering. Yang dia maksud kering itu adalah kering dari sisi spiritualitas.
“Karena bagi kita, begitu melihat rumah ibadah, hati kita terbuka, ingat pada Tuhan,” jelasnya.
Nasaruddin mengatakan, kehidupan perkotaan yang diwarnai gedung pencakar langit, tidak jarang mendorong orang untuk terjebak hanya pada urusan duniawi. Sehingga kehadiran rumah ibadah diharapkan bisa menjadi oase yang menyejukkan sekaligus mengingatkan umat tentang Tuhan dan kematian.
“Begitu lihat masjid, begitu lihat gereja, pura, vihara, klenteng, kita jadi ingat bahwa kita akan mati, lalu persiapan kita apa,” katanya.
Jadi, kata Nasaruddin, betapa perlunya suara-suara religi pada setiap kawasan penduduk atau permukiman. Dia juga mengajak umat mensyukuri nikmat kerukunan dan kedamaian Indonesia.
Meski sangat heterogen, Indonesia tetap rukun. Kondisi ini menjadi kebanggaan. Bahwa Indonesia boleh berbeda-beda suku bangsa, bahwa perbedaannya sangat banyak. Tapi tetap bisa hidup rukun.
“Inilah indahnya lukisan Tuhan,” sebutnya.
Dia mengajak masyarakat untuk terus perkuat toleransi. Yaitu kesediaan untuk menerima kenyataan yang berbeda dengan diri sendiri