Politik yang telah menjadikan para pemimpin ini disibukkan dengan pengembalian modal, hingga korupsi menjadi budaya ketika upaya pengembalian modal mengalami hambatan. Mental pemimpin yang mengiba suara rakyat, jauh dari jujur apalagi takwa. Padahal, perilaku zalim sangat dekat dengan ketidak takwaan. Namun, lagi-lagi karena asas sistem ini sekuler. Agama hanya teronggok di sajadah ketika ibadah, bukan dibawa saat beraktifitas di luar itu. Politik seolah terdefinisikan kotor, padahal Islam pun mengenal politik.
Beban APBN memang sangat berat, demikian juga dengan tanggungan utang negara sehingga negara butuh tambahan dana segar, namun memberi maaf koruptor dengan pengembalian harta ke negara adalah logika sesat. Bahkan cenderung berbahaya. Dimana pengaruh hukum sementara Indonesia seringkali menisbatkan diri sebagai negara hukum?
Kita harus menyadari dengan seutuhnya bahwa pemberantasan korupsi memang sulit dan berat, bahkan mustahil diselenggarakan di dalam sistem sekuler liberal kapitalisme. Jika memang penguasa tulus memberantas korupsi, semestinya penguasa juga mengganti paradigma mengenai korupsi sehingga korupsi dipahami sebagai tindakan yang haram dilakukan. Inilah yang dimaksud politik dalam Islam, yaitu mengurusi urusan umat dengan syariat Islam.
Islam Saja Sempurna Berantas Korupsi
Dalam fikih Islam, tindakan korupsi dekat dengan makna penggelapan atau penyelewengan uang negara dan dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Istilah yang juga masuk dalam kategori korupsi adalah suap-menyuap atau disebut dengan risywah (rasuah). Bentuk lain korupsi adalah project fee karena terkategori hadiah atau hibah yang tidak sah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakshiyyah Islamiyyah Jilid 2 menyampaikan bahwa setiap orang yang memiliki otoritas memenuhi kepentingan masyarakat (penguasa atau pejabat negara) maka harta yang diambilnya untuk menjalankan tugas tersebut adalah suap, bukan upah.
Rasulullah saw. pun bersabda, “Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah) maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR Abu Dawud).
Maka semua modus korupsi adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’) (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 117-119). Allah Taala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (TQS Al-Baqarah 2: 188).
Untuk kepentingan penerapan hukum syarak inilah, maka seorang pemimpin harus memiliki ketegasan dan aturan mendasar dalam memberantas korupsi. Hal itu tak akan mungkin terwujud kecuali dengan menerapkan Islam.
Dalam Islam, sistem sanksinya memiliki dua sifat yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum bisa tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama. Selain itu, jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya di dunia, meringankan azabny di akhirat.
Korupsi merupakan perbuatan khianat, bukan termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana yang dijelaskan dalam QS Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.