Bentuk sanksinya mulai dari nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89).
Sejarah kegemilangan Islam pun mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra. ketika mendapati kekayaan seorang wali atau amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan itu. Ketika penjelasan wali tersebut tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitulmal. Dan Umar melakukannya kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
Kegemilangan Islam bukan sekadar sejarah, kita bisa mengulangnya kembali sebagai bentuk ketaatan kepada Pencipta Alam semesta, Allah SWT, sebagaimana firmanNya yang artinya,” “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu” (TQS al-Baqarah: 208). Terlebih jika melihat peristiwa hukum di negeri ini yang bak dagelan. Dimana kecurangan dan pengkhianatan dinormalisasi. Wallahualam bissawab.