BEREDAR di media sosial, sebuah foto yang memperlihatkan raut wajah bahagia tak terkira artis Sandra Dewi saat menatap wajah suaminya, Harvey Moeis, terdakwa kasus korupsi timah, saat hakim hanya memberi vonis 6,5 tahun. Padahal, potensi kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 300 triliun, termasuk nilai kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Bisa dipastikan, suara netizen begitu riuh rendah, hingga menyebutkan ada profesi baru di negeri ini, yaitu menjadi koruptor. Hidup enak, hukuman pun ringan. Syaratnya, berkelakuan baik di hadapan majelis hakim dan memiliki keluarga.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menilai putusan itu tak logis. Bahkan tuntutan yang disampaikan jaksa juga hanya 12 tahun penjara.
Sangat berbeda dengan negara tetangga, Vietnam. Awal Desember lalu. Pengadilan Vietnam menolak upaya banding yang dilakukan oleh Taipan properti Vietnam Truong My Lan. Seorang wanita berusia 68 tahun, diketahui menjadi dalang penipuan bank terbesar di dunia dan mendapatkan vonis mati. Ia bisa mendapatkan keringanan penjara seumur hidup jika bisa membayar kembali 75 persen dari apa yang telah diambilnya.
Di China, Tiongkok baru-baru ini juga mengeksekusi mantan pejabat dari Mongolia atas tuduhan korupsi senilai total sekitar 3 miliar yuan (412 juta dolar AS). Hukuman mati yang sebelumnya jarang terjadi untuk kasus korupsi, semakin bertambah seiring dengan meningkatnya kampanye besar-besaran Presiden Xi Jinping untuk membersihkan Partai Komunis.
Belum usai dengan putusan Harvey Moeis, kembali rakyat Indonesia disuguhkan dengan pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas bahwa Presiden Prabowo tak hanya mewacanakan pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, tapi negara juga menerima denda damai. Supratman menjelaskan kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejagung lantaran Undang-Undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
Dan wacana ini mendapat protes dari para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute. Mereka memandang rencana itu malah mengurangi efek jera bagi koruptor. Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito menilai, pengampunan ini berpeluang menjadi blunder dan berpotensi tidak menyelesaikan persoalan mendasar bahwa korupsi bukan terjadi hanya pada masa lalu, tetapi saat ini juga.
Inilah Wajah Asli Kapitalisme Demokrasi
Bak sinetron, penyelesaian setiap kasus terutama korupsi di dalam negara yang menyatakan sebagai negara hukum, Indonesia. Padahal kasus korupsi sudah bukan perkara remeh temeh tapi menggurita dan tersistem. Namun wajah peradilan semakin tak punya wibawa. Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Permainan kekuasaan dan uang sangat mendominasi.
Bahkan jika pun mendapat vonis penjara, para koruptor itu memiliki penjara yang lebih mewah daripada pencuri singkong atau ayam. Maka, logika ini sangatlah tak bisa diterima, ketika koruptor bisa dimaafkan asal mengembalikan hasil korupsi untuk asset recovery (pemulihan kerugian negara), padahal tidak melalui amnesti saja koruptor sebagaimana narapidana kasus lainnya selalu mendapatkan remisi, pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum pada saat peringatan HUT RI dan hari raya lainnya.
Amnesti diberikan kepada para koruptor, padahal tindak korupsi adalah extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Korupsi adalah tindak kejahatan yang sangat memengaruhi sendi-sendi kehidupan suatu negara dan masyarakat. Dampak yang ditimbulkan korupsi sungguh luar biasa karena menyangkut perekonomian negara dan masyarakat. Sungguh cara pandang yang kelewat batas rasa keadilan bahkan kemanusiaan.
Namun inilah kenyataan pahit yang harus kita telan ketika hidup dalam aturan sistem Kapitalisme Demokrasi. Sistem yang asasnya sekuler, memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hukum kemudian diambil dari kesepakatan manusia. Ironinya, siapa berkuasa dan bermodal besar dialah penguasa hakiki. Tak ada keadilan. Negara pun hilang kedaulatannya.
Demokrasi sendiri tak lepas dari politik uang, pemimpin yang menang dan wajahnya terpampang hari ini, terpilih bukan semata karena nama atau kapasitas kenegarawannya, tapi lebih karena “uang” nya dan jaringan pendukungnya. Maka tak heran jika setiap kebijakan yang muncul sama saja dengan sebelumnya, masalah rakyat tetap ada karena memang bukan menjadi prioritas.
Politik yang telah menjadikan para pemimpin ini disibukkan dengan pengembalian modal, hingga korupsi menjadi budaya ketika upaya pengembalian modal mengalami hambatan. Mental pemimpin yang mengiba suara rakyat, jauh dari jujur apalagi takwa. Padahal, perilaku zalim sangat dekat dengan ketidak takwaan. Namun, lagi-lagi karena asas sistem ini sekuler. Agama hanya teronggok di sajadah ketika ibadah, bukan dibawa saat beraktifitas di luar itu. Politik seolah terdefinisikan kotor, padahal Islam pun mengenal politik.
Beban APBN memang sangat berat, demikian juga dengan tanggungan utang negara sehingga negara butuh tambahan dana segar, namun memberi maaf koruptor dengan pengembalian harta ke negara adalah logika sesat. Bahkan cenderung berbahaya. Dimana pengaruh hukum sementara Indonesia seringkali menisbatkan diri sebagai negara hukum?
Kita harus menyadari dengan seutuhnya bahwa pemberantasan korupsi memang sulit dan berat, bahkan mustahil diselenggarakan di dalam sistem sekuler liberal kapitalisme. Jika memang penguasa tulus memberantas korupsi, semestinya penguasa juga mengganti paradigma mengenai korupsi sehingga korupsi dipahami sebagai tindakan yang haram dilakukan. Inilah yang dimaksud politik dalam Islam, yaitu mengurusi urusan umat dengan syariat Islam.
Islam Saja Sempurna Berantas Korupsi
Dalam fikih Islam, tindakan korupsi dekat dengan makna penggelapan atau penyelewengan uang negara dan dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Istilah yang juga masuk dalam kategori korupsi adalah suap-menyuap atau disebut dengan risywah (rasuah). Bentuk lain korupsi adalah project fee karena terkategori hadiah atau hibah yang tidak sah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakshiyyah Islamiyyah Jilid 2 menyampaikan bahwa setiap orang yang memiliki otoritas memenuhi kepentingan masyarakat (penguasa atau pejabat negara) maka harta yang diambilnya untuk menjalankan tugas tersebut adalah suap, bukan upah.
Rasulullah saw. pun bersabda, “Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah) maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR Abu Dawud).
Maka semua modus korupsi adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’) (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 117-119). Allah Taala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (TQS Al-Baqarah 2: 188).
Untuk kepentingan penerapan hukum syarak inilah, maka seorang pemimpin harus memiliki ketegasan dan aturan mendasar dalam memberantas korupsi. Hal itu tak akan mungkin terwujud kecuali dengan menerapkan Islam.
Dalam Islam, sistem sanksinya memiliki dua sifat yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum bisa tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama. Selain itu, jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya di dunia, meringankan azabny di akhirat.
Korupsi merupakan perbuatan khianat, bukan termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana yang dijelaskan dalam QS Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk sanksinya mulai dari nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89).
Sejarah kegemilangan Islam pun mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra. ketika mendapati kekayaan seorang wali atau amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan itu. Ketika penjelasan wali tersebut tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitulmal. Dan Umar melakukannya kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
Kegemilangan Islam bukan sekadar sejarah, kita bisa mengulangnya kembali sebagai bentuk ketaatan kepada Pencipta Alam semesta, Allah SWT, sebagaimana firmanNya yang artinya,” “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu” (TQS al-Baqarah: 208). Terlebih jika melihat peristiwa hukum di negeri ini yang bak dagelan. Dimana kecurangan dan pengkhianatan dinormalisasi. Wallahualam bissawab.