Penulis: Acmad Nur Hidayat**
PEMERINTAH Indonesia baru-baru ini memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang terbatas hanya pada barang-barang mewah. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan keadilan pajak dengan membebankan pajak lebih tinggi pada kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
Di sisi lain, pemerintah juga memberikan diskon listrik sebesar 50 persen selama dua bulan untuk pelanggan rumah tangga dengan daya tertentu. Kebijakan ini membawa dampak positif bagi kelas menengah, namun tantangan koordinasi dengan pemerintah daerah tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
PPN 12 Persen: Memfokuskan Beban Pajak pada Barang Mewah
PPN sebesar 12 persen hanya diterapkan pada barang-barang yang dikategorikan sebagai mewah, seperti kendaraan bermotor kelas premium, perhiasan, properti dengan harga tinggi, dan produk lainnya yang tidak termasuk kebutuhan pokok.
Kebijakan ini menunjukkan upaya pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang progresif, di mana kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi diharapkan memberikan kontribusi lebih besar kepada negara.
Dengan kebijakan ini, masyarakat kelas menengah ke bawah tidak akan terlalu terbebani oleh kenaikan tarif PPN, karena kebutuhan pokok tetap dikenakan tarif standar sebesar 11 persen.
Pendekatan ini mencerminkan asas keadilan dan gotong royong dalam kebijakan fiskal. Pemerintah juga mengharapkan peningkatan penerimaan negara dari kelompok berdaya beli tinggi tanpa menambah beban mayoritas masyarakat.
Diskon Listrik 50 Persen: Dukungan untuk Kelas Menengah
Sebagai langkah kompensasi, pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama dua bulan, yang berlaku untuk pelanggan rumah tangga dengan daya hingga 2.200 VA.
Kebijakan ini dirancang untuk memberikan ruang bernapas bagi kelas menengah yang tengah menghadapi berbagai tekanan ekonomi, seperti kenaikan biaya hidup dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Diskon ini tidak hanya menguntungkan konsumen, tetapi juga memberikan dampak positif bagi PT PLN (Persero). Dengan adanya diskon, konsumsi listrik diharapkan meningkat, sehingga surplus listrik dapat dikelola lebih baik.
PLN saat ini menghadapi surplus listrik yang signifikan. Pada tahun 2022, surplus mencapai sekitar 6 gigawatt (GW) dan diperkirakan akan meningkat menjadi 7,4 GW pada tahun 2025, dengan proyeksi mencapai 41 GW pada tahun 2030.
Penyimpanan surplus listrik memerlukan infrastruktur yang mahal, seperti baterai penyimpanan energi. Menurut Hashim Djojohadikusumo, biaya penyimpanan energi menggunakan baterai saat ini sekitar 4 sen Dolar AS per kilowatt-jam (kWh).
Dengan demikian, kebijakan diskon listrik yang mendorong peningkatan konsumsi dapat membantu mengurangi surplus listrik dan menekan biaya operasional PLN yang terkait dengan penyimpanan energi.
Dalam jangka panjang, peningkatan konsumsi listrik juga dapat berkontribusi pada efisiensi sistem distribusi dan keuangan PLN.
Perpanjangan Diskon Listrik: Wajib Dipertimbangkan
Meskipun diskon ini hanya direncanakan berlangsung selama dua bulan, ada usulan untuk memperpanjangnya hingga enam bulan ke depan.
Perpanjangan ini diharapkan dapat memberikan dampak lebih signifikan dalam meringankan beban masyarakat kelas menengah. Selain itu, perpanjangan diskon dapat menciptakan permintaan listrik yang lebih stabil, membantu PLN mengoptimalkan kapasitas produksi, dan mengurangi biaya penyimpanan surplus.
Namun, pemerintah perlu memastikan bahwa insentif ini tidak membebani anggaran negara secara berlebihan. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap dampak kebijakan ini harus dilakukan untuk memastikan keberlanjutannya.
Tantangan: Kenaikan Pajak Opsen Kendaraan
Di tengah upaya mengurangi beban kelas menengah, pemberlakukan kenaikan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) justru diberlakukan. Hal ini menguntungkan Pemda dan merugikan kelas menengah.
Opsen pajak adalah pungutan tambahan yang dikenakan oleh pemerintah kabupaten/kota sebesar 66 persen dari PKB dan BBNKB yang terutang.