NASIONAL
NASIONAL

Jejak Pram Melawan Oligarki

ADVERTISMENTS
Gampong Ramadhan in Action Bank Aceh Syariah
image_pdfimage_print

Oleh: Heru Wahyudi*

ADVERTISMENTS

   

“MENULIS adalah bentuk perlawanan. Jika kau diam, kau hilang dari sejarah” (Pramoedya Ananta Toer).

 

Pramoedya Ananta Toer (1925–2006) adalah ikon kebebasan berpikir dan berekspresi yang hidup dalam bayang represi. Separuh hidupnya dihabiskan di penjara—mulai dari era kolonial Belanda hingga rezim Orde Baru—lantaran tulisan kritisnya membongkar ketidakadilan. Ia dijuluki “penyebar ajaran komunis” tanpa pengadilan, dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun (1969–1979), dan dilarang menulis hingga 1973. Setidaknya, di balik jeruji, Pram melahirkan mahakarya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca)—kisah perlawanan Minke, tokoh intelektual Jawa yang mengkritik kolonialisme Belanda. 

ADVERTISMENTS

Karya tersebut ditulis secara lisan untuk sesama tahanan di Pulau Buru, lalu diselundupkan keluar oleh aktivis kemanusiaan. Dari Minke, Pram menggambarkan sistem kasta kolonial yang menindas pribumi, eksploitasi sumber daya alam, dan perlawanan melalui pendidikan. Novelnya dilarang di Indonesia hingga 1998, tetapi jadi bacaan bawah tanah yang menginspirasi gerakan mahasiswa menumbangkan Soeharto. 

Peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya (6 Februari 2025) dirayakan dengan seruan: “Kebebasan bukan hadiah negara, tapi hasil perjuangan”. Amnesty International menegaskan, momen ini mesti jadi pengingat agar negara tak lagi memenjarakan warganya karena bersuara. Di Blora, kampung halaman Pram, digelar festival seni, diskusi, dan pemancangan nama jalan untuk mengenang jasanya. 

ADVERTISMENTS
Berita Lainnya:
Ketinggian Air di Bendung Katulampa Meningkat, Warga Jakarta Waspada

Pramoedya tak cuma mengkritik penjajah asing, tapi juga struktur feodal Jawa. Dalam Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh—perempuan pribumi yang jadi gundik Belanda—menjadi simbol perlawanan terhadap patriarki dan kapitalisme. Kini, kritik serupa cocok menyorot oligarki yang menguasai sumber daya Politik-ekonomi Indonesia pasca-Reformasi. 

Pramoedya menggunakan sastra untuk membongkar ketimpangan sosial-ekologis, seperti eksploitasi hutan dan marginalisasi masyarakat adat. Gagasan ini sejalan dengan gerakan lingkungan hari ini yang menentang perampasan tanah oleh korporasi, (Darsono et al. 2024). 

Karya Pram menjadi bacaan wajib bagi aktivis kampus dan buruh yang menentang Undang-Undang Omnibus Law. Mahasiswa terinspirasi oleh semangat Minke untuk melawan pembungkaman akademik. Tentunya literatur bisa jadi alat yang kuat dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

Meski Reformasi 1998 membuka keran demokrasi, laporan Amnesty International (2024) mencatat 128 tahanan di Indonesia—sebagian besar dipenjara lantaran kritik di media sosial. UU ITE masih digunakan untuk membungkam suara kritis, mirip dengan pelarangan buku-buku Pram di era Orde Baru. 

 

Tetralogi Buru

Tetralogi Buru memotret perlawanan intelektual melalui Minke, tokoh yang memakai pena sebagai senjata melawan rasialis dan feodalis kolonial. Dalam Bumi Manusia, Minke—seorang priyayi Jawa terdidik—menyadari ironi sistem kasta yang menempatkan pribumi sebagai warga kelas dua di tanahnya sendiri. Karya ini mengkritik praktik hegemoni kolonial, seperti eksploitasi buruh perkebunan dan hukum diskriminatif yang melegitimasi ketimpangan. Lewat tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya menceritakan perlawanan perempuan pribumi yang melampaui batas patriarki dan kolonialisme, (M. R. A. Najib et al. 2023).

Berita Lainnya:
Imparsial: Kenaikan Pangkat Mayor Teddy Politis dan Berpotensi Melukai Hati Prajurit TNI

Kritik Pramoedya pada kolonialisme masih relevan hari ini. Eksploitasi sumber daya dalam Tetralogi Buru, seperti tanam paksa, gambaran praktik korporasi modern yang merampas lahan adat. Ketimpangan ekologis yang ia gambarkan pun terus terlihat dalam konflik agraria pasca-Reformasi. Bahkan, pelarangan buku Pram di era Orde Baru kini terasa diulang lewat UU ITE yang sering dipakai untuk membungkam kritik sosial. Sejarah terus berulang dalam wajah baru.

Meski dilarang Orde Baru sejak 1981 lantaran dianggap “bernuansa komunis”, Tetralogi Buru justru diakui dunia. Naskahnya diselundupkan, diterjemahkan ke 42 bahasa, dan diakui UNESCO sebagai warisan sejarah Asia. Di tengah pelarangan, karya ini jadi bacaan bawah tanah bagi mahasiswa dan buruh selama gerakan Reformasi 1998. Larangan itu malah memperkuat posisi Tetralogi Buru sebagai simbol perlawanan dan ingatan kolektif terhadap ketidakadilan.

1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

ADVERTISMENTS