Jejak Pram Melawan Oligarki
NASIONAL
NASIONAL

Jejak Pram Melawan Oligarki

Kisah Minke yang terinspirasi dari Tirto Adhi Soerjo—pendiri pers nasional—menegaskan bahwa sastra bukan hanya seni, melainkan senjata melawan lupa. Seabad setelah kelahiran Pramoedya, pesannya tetap hidup: “Menulis adalah keberanian untuk tidak diam”.

 

Korporatokrasi di Indonesia

John Perkins dalam Confessions of an Economic Hit Man (2004) mendefinisikan korporatokrasi sebagai sistem global yang dijalankan oleh aliansi terselubung antara pemerintah, korporasi multinasional, dan lembaga keuangan internasional. Tujuannya: menciptakan ketergantungan negara berkembang melalui utang luar negeri, eksploitasi sumber daya alam, dan kontrol kebijakan ekonomi. Perkins menyebut Indonesia sebagai salah satu “target utama” sejak era 1970-an, di mana proyek infrastruktur dan pertambangan didesain untuk mengalirkan keuntungan ke korporasi asing. 

Kasus PT Freeport-McMoRan di Papua gambaran korporatokrasi nyata. Biarpun pemerintah mengklaim punya 51 persen saham sejak 2018, 90 persen keuntungan tambang Grasberg masih dikuasai asing, menurut Amnesty International (2020). Dampaknya serius: setiap hari, 230.000 ton limbah menghancurkan ekosistem masyarakat Kamoro dan Amungme. Selain itu, Freeport membayar 20 juta dolar AS kepada militer Indonesia untuk menekan protes warga (1998–2004). Ketimpangan ekonomi juga mencolok; di Morowali, Sulawesi, 95 persen pendapatan dari tambang nikel mengalir ke korporasi asing, sementara 12,97 persen penduduknya terjebak dalam kemiskinan, (R. H. Sampurna, 2019).

 

Perkins juga mengungkap taktik “bandit ekonomi” (2004) di Indonesia, termasuk manipulasi proyek PLTA dan penggunaan “wanita bayaran” untuk melobi pejabat. 

Kebijakan investasi asing pasca UU Cipta Kerja 2020 semakin menguatkan ketergantungan Indonesia pada korporasi multinasional. Dengan mekanisme ISDS, korporasi asing dapat menggugat pemerintah di arbitrase internasional, seperti kasus Churchill Mining yang jadi preseden buruk, (C. T. Sulistio & P. Trisnamansyah, 2020). Di sisi lain, dominasi oligarki politik dan lemahnya transfer teknologi memperburuk deindustrialisasi, sementara ekspor mineral mentah dan investasi asing tetap terkonsentrasi di sektor ekstraktif, (L. M. Syarif & Faisal, 2019). Alih-alih mendorong pembangunan berkelanjutan, kebijakan ini justru memperkuat struktur ekonomi kolonial, meninggalkan masyarakat lokal dalam ketimpangan dan eksploitasi.

 

Oligarki Indonesia

Jeffrey Winters, profesor politik Northwestern University, mendefinisikan oligarki sebagai konsentrasi kekuasaan berbasis kekayaan ekstrem yang dipertahankan lewat politik pertahanan aset”. Dalam bukunya Oligarchy (2011), ia menulis oligarki bukan hanya rezim, justru sistem di mana 0,01 persen populasi mengontrol sumber daya ekonomi-politik untuk melanggengkan dominasi. Di Indonesia, 40 orang terkontrol 10 persen PDB—setara kekayaan 60 juta penduduk termiskin—mensinyalir jurang kekayaan terbesar di Asia Tenggara, (P. Y. Pratama et al. 2019). 

Soeharto dikenal sebagai “Bapak Oligarki Indonesia” sebab membangun sistem patronase yang mengakar. Ia mencipta tiga pilar kekuasaan: keluarga Cendana yang menguasai proyek strategis seperti Freeport melalui dekrit presiden, militer yang terlibat bisnis lewat yayasan dan mengendalikan 30 persen ekonomi pada 1990-an, serta Golkar sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan, (Yusuf et al. 2024). Dari UU Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan 1967, Suharto membagi konsesi pada kroninya, termasuk monopoli cengkeh oleh Tommy Suharto yang merugikan petani hingga Rp3,8 triliun per tahun. Sistem ini memperkuat oligarki dan meninggalkan warisan ketimpangan yang masih terasa hingga kini.

Pasca-1998, oligarki Indonesia bertransformasi dari “sultanistik” menjadi lebih “liar.” Politik uang merajalela, dengan 78 persen anggota DPR periode 2019-2024 punya kepentingan bisnis dengan perusahaan multinasional. Sumber daya alam kini dikuasai konglomerat, sementara 72 persen investasi asing terfokus di sektor ekstraktif, (D. Faedluloh et al.2023). 

Regulasi, seperti UU Omnibus Cipta Kerja (2020), makin mendukung oligarki dengan menghapus kewajiban AMDAL untuk proyek strategis, memudahkan ekspansi tambang nikel di Morowali. Situasi ini berujung pada 65 persen konflik agraria pasca-Reformasi yang melibatkan perusahaan oligarki yang sering kali dapat izin melalui praktik suap, mengindikasi betapa dalamnya masalah ketimpangan dan korupsi di Indonesia.

1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

ADVERTISMENTS