Penulis: Hanny N**
GELOMBANG pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali menghantui Indonesia. Dua pabrik memutuskan menghentikan produksinya alias tutup, menyebabkan ribuan orang buruh terancam kehilangan sumber pendapatan.
Kedua perusahaan itu adalah PT Sanken Indonesia yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat dan PT Danbi International di Garut, Jawa Barat.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Sinyal meningkatnya angka PHK tahun ini semakin kuat, dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari efisiensi anggaran perusahaan hingga kondisi ekonomi yang tidak stabil. Tak hanya itu, banyak pabrik di tanah air yang terpaksa melakukan perampingan tenaga kerja akibat permintaan pasar yang menurun, meningkatnya biaya produksi, serta kebijakan ekonomi yang kurang berpihak kepada buruh.
Realitas ini menambah penderitaan rakyat kecil yang semakin sulit mencari pekerjaan. Di tengah persaingan ketat, berbagai perusahaan menetapkan kriteria rekrutmen yang menyulitkan, termasuk batasan usia yang ketat. Usia di atas 30 tahun kerap dianggap terlalu tua bagi banyak perusahaan, sehingga banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan justru kesulitan mendapatkan yang baru. Ironisnya, dalam sistem kapitalisme, buruh hanya dipandang sebagai faktor produksi yang bisa dengan mudah dikorbankan demi menyelamatkan keberlangsungan perusahaan. Tidak peduli seberapa lama mereka telah mengabdi, begitu perusahaan mengalami kesulitan, mereka adalah yang pertama kali harus dikorbankan.
Sebagai solusi, pemerintah menggulirkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang memberikan kompensasi sebesar 60% dari gaji terakhir selama enam bulan dengan batas atas upah sebesar lima juta rupiah. Namun, apakah ini cukup? Jelas tidak! Kehidupan tidak berhenti dalam enam bulan, sementara kebutuhan terus berjalan. Biaya hidup terus meningkat, harga sembako semakin melambung, tarif listrik dan air tak pernah turun, dan biaya pendidikan anak semakin mahal. Setelah enam bulan berlalu, pekerja yang belum mendapatkan pekerjaan baru akan kembali terjebak dalam kesulitan yang lebih dalam. Program ini bukanlah solusi jangka panjang, melainkan hanya penenang sesaat yang tidak benar-benar menyelesaikan akar masalah.
Sistem kapitalisme yang menjadi panglima ekonomi saat ini jelas tidak berpihak kepada kaum buruh. Perusahaan yang berorientasi pada keuntungan akan selalu mencari cara untuk menekan biaya produksi, termasuk dengan melakukan PHK massal. Pemerintah, alih-alih melindungi buruh, justru terus mengeluarkan kebijakan yang mempermudah PHK, seperti yang terlihat dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Bukannya memperkuat perlindungan bagi tenaga kerja, kebijakan ini justru semakin membuka peluang bagi perusahaan untuk mem-PHK pekerjanya dengan mudah, bahkan memberi ruang yang lebih besar bagi tenaga kerja asing untuk masuk dan bersaing dengan pekerja lokal.
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara kapitalisme dan Islam dalam mengatur perekonomian dan ketenagakerjaan. Dalam Islam, negara berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang memiliki tanggung jawab penuh dalam memastikan kesejahteraan warganya. Islam tidak membiarkan rakyatnya berjuang sendiri di tengah badai PHK, tetapi mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi semua individu yang mampu bekerja.
Dalam sistem ekonomi Islam, ada mekanisme yang jelas dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Negara wajib memastikan distribusi kekayaan berjalan dengan adil, bukan terkonsentrasi pada segelintir pemilik modal. Negara juga bertanggung jawab mengelola sumber daya alam dan sektor-sektor strategis agar memberikan manfaat bagi seluruh rakyat, bukan menyerahkannya kepada pihak swasta atau asing yang hanya mengejar keuntungan. Dengan cara ini, negara mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang luas dan memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Selain itu, Islam juga menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara. Setiap warga negara harus dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika ada individu yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya, negara wajib turun tangan untuk memastikan mereka tetap hidup sejahtera. Dengan sistem ini, tidak akan ada masyarakat yang terlantar atau terjebak dalam kemiskinan ekstrem akibat PHK atau kehilangan mata pencaharian.