OLEH: MOH. SAMSUL ARIFIN*
“Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.”
(Taufiq Ismail, 1998)
***
Masih berlakukah sajak penyair supersenior Taufiq Ismail di atas sekarang ini?
Mahasiswa menuntut ini dan itu, Presiden bilang begini dan begitu. Demonstran menyuarakan “Indonesia Gelap” dalam 13 butir tuntutan, Presiden membanggakan proyeksi ekonomi global tahun 2050. Sebuah nubuat yang memperkirakan Indonesia bakal nangkring di urutan nomor empat ekonomi terbesar di dunia–tepat saat negeri kita berusia 100 tahun.
“Kan keren Indonesia di atas Jerman. Di atas Jepang, Inggris. Di atas Prancis. Kok Indonesia gelap?,” ucap Presiden Prabowo Subianto di acara penutupan Kongres Partai Demokrat (CNNIndonesia.com, 25 Februari 2025).
“Indonesia akan berhasil jadi negara makmur. Dan yang akan menikmati adalah kalian saudara-saudara yang muda-muda,” imbuh Presiden Prabowo.
Mahasiswa tidak sedang menceritakan masa depan bangsa ini yang tentu diharapkannya cerah. Sebagai penerus, pemilik dan pewaris bangsa berikut masalah-masalahnya, mahasiswa justru menjelaskan sejarah bangsanya hari ini. Seperti Greta Thunberg, aktivis lingkungan belia asal Swedia, yang berteriak supernyaring terhadap pemimpin pemerintahan negara-negara di dunia karena takut punah akibat sapuan krisis iklim, mahasiswa menyuarakan “Indonesia Gelap” secara gamblang.
Masalah itu adalah kenyataan yang hidup, dan bahkan intim dengan mahasiswa. Butir teratas atau pertama contohnya tentang pendidikan gratis serta pembatalan pemangkasan anggaran pendidikan. Bagaimana generasi penerus ini bisa tenang kuliah jika UKT (uang kuliah tunggal), dulu SPP, naik akibat efisiensi?
Kata “naik” pernah bikin mahasiswa marah di bulan April hingga Mei 2024, saat Prabowo masih Menteri Pertahanan di kabinet Pemerintahan Joko Widodo. Waktu itu Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 mengatur Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN.
Saking ugal-ugalan, UKT di salah satu program studi Universitas Jenderal Soedirman melompat dari Rp9 juta menjadi Rp52 juta. Unsoed pun bergolak. Demo yang awalnya pecah di Purwokerto, Jawa Tengah, itu merembet ke sejumlah kota di tanah air. Sering kali “student protest” adalah suara moral, suara nurani yang meletup karena ketidakadilan kian merajelala. Suara moral yang tak memiliki kepentingan Politik, apalagi kekuasaan. Naif, tapi tulus dan bersih.
Protes mahasiswa ditanggapi secara positif oleh pemerintah. Sang menteri, Nadiem Makarim membatalkannya, setidaknya tidak berlaku tahun 2024.
Tapi, itu pasti menghantui mahasiswa dan orangtua mahasiswa hingga sekarang. Terlebih komunikasi pemerintah ihwal program penghematan atau efisiensi anggaran Rp306 triliun, terbilang buruk. Sudah begitu tidak terlampau jelas kenapa kementerian tertentu dipangkas gila-gilaan, sementara Kementerian Pertahanan, Kepolisian dan TNI tidak terjangkau program penghematan.
Sebagian dari pemotongan anggaran tadi akan disuntikkan untuk program andalan, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG). Sebagian pertanyaan kritis muncul: Benarkah MBG sangat mendesak dilakukan di seluruh provinsi di tanah air? Perlukah digeneralisasi? Apakah anak Indonesia di sebagian provinsi semacam Papua, mencuat demo belakangan ini, tidak malah butuh pendidikan dan kesehatan gratis ketimbang makan bergizi gratis?
Jadi, agak lumrah jika dalam butir keenam tuntutannya, mahasiswa meminta pencabutan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025. Beleid ini mengatur soal kebijakan “pengetatan ikat pinggang” yang dilaksanakan Pemerintahan Prabowo Subianto. Di mata mahasiswa, beleid ini merupakan ancaman terhadap bagian-bagian dari kepentingan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan.
Seterusnya, di butir ketujuh, mahasiswa menyarankan evaluasi total program makan bergizi gratis. Menurut mahasiswa, evaluasi secara menyeluruh perlu dilakukan agar program ini tepat sasaran, terlaksana dengan baik, dan tidak menjadi alat politik semata. Bukankah ini seruan yang simpatik dan juga disuarakan sebagian media massa yang getol mencermati masalah-masalah di lapangan sekitar MBG?