Kalau kita pahami logika mahasiswa, Indonesia tentu saja gelap, jika sejumlah “jika” ini tak terbendung.
Jika pendidikan dari dasar, menengah dan tinggi makin tidak terjangkau seluruh kalangan.
Jika proyek strategis nasional (PSN) berubah menjadi alat perampasan tanah rakyat.
Jika TNI dipersilakan secara leluasa menjalankan peran multifungsi, terlibat dalam jabatan sipil yang menerabas peran dan fungsi yang tercantum dalam UU TNI yang hendak direvisi.
Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) diisi oleh jenderal TNI bintang dunia. Lepas dari paradigma anyar bahwa kedaulatan pangan sebagai isu dan hal yang menentukan kedaulatan negara, ini tentu pergeseran yang layak diwaspadai.
Di masa Orde Baru, bangsa kita sangat traumatis dengan peran ganda TNI, yang terangkum dalam dwifungsi ABRI. Dulu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah institusi induk bagi TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Kepolisian. Militer merambah pos-pos sipil, bahkan disebar ke provinsi menjadi gubernur.
Di bawah Soeharto, pemerintah amat militeristik dan represif. Karena itu, reformasi mengubah plot tadi. Militer atau tentara diperintahkan kembali ke barak, tak ada tentara aktif yang boleh berpolitik dan berbisnis. Fungsinya alat pertahanan negara.
Politik adalah panggung sipil, sebab supremasi sipil adalah keniscayaan dalam demokrasi. Sedangkan kepolisian dipisah dari TNI, menjadi lembaga mandiri di bawah presiden dan berfungai sebagai alat keamanan. Sangat wajar jika dalam butir kesepuluh tuntutannya, mahasiswa menolak revisi UU TNI dan Kepolisian.
Jika berikutnya, masuk dalam butir kedua belas tuntutan, berkaitan dengan revisi tata tertib DPR yang memberi kewenangan kepada mereka mengevaluasi, bahasa halus dari mengganti, pejabat di lembaga seperti Mahkamah Konstitusi hingga Kepolisian. Contohnya dari 9 hakim konstitusi, 3 di antara dipilih oleh DPR. Tiga hakim yang merupakan pilihan DPR dapat dievaluasi oleh DPR bila dirasa tak seturut aspirasi DPR. Ini pernah terjadi pada hakim konstitusi, dicopot dan lalu diganti oleh hakim pilihan DPR.
Ihwal MK, negeri kita pernah kecolongan besar, bahkan skandal dalam sejarah benteng konstitusi tadi. Persyaratan usia minimum capres/cawapres diubah sehingga menguntungkan tokoh tertentu.
Meski belakangan DPR mengoreksi tafsir atas tatib tersebut, kecurigaan publik termasuk mahasiswa, masuk akal. Dalam tempo secepat-cepatnya, DPR pernah mencoba mbalelo. Mereka hampir saja merevisi UU Pilkada pada Agustus 2024. Inisiatif kilat itu adalah respons atas putusan MK yang menetapkan penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah secara drastis.
Di Pilkada DKI Jakarta, threshold yang sebelumnya 20 persen diturunkan jadi 7,5 persen. Ini mengubah konstelasi. PDIP mengambil peluang itu karena bisa sendirian mengusung pasangan calon. Sedangkan NasDem, PKB dan PKS tetap berada di barisan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Anies Baswedan yang punya potensi keterpilihan tertinggi di Jakarta ditinggal oleh tiga parpol pengusungnya di Pilpres 2024. Ironis, sungguh ironis.
Belakangan, soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pun dihapus oleh MK. Mulai 2029, seluruh partai dan gabungan parpol berhak mengajukan capres dan cawapres. Tak ada lagi pembatasan. Belenggu telah dijebol.
***
Kini, tinggal DPR, pemerintah, akademisi kampus, peneliti pemilu hingga mahasiswa untuk mengisi cek yang diputuskan oleh MK dengan sebaik-baiknya. Sebab kado terindah MK buat demokrasi kita itu mungkin tidak bakal datang dua kali. Jika revisi UU Pemilu, termasuk UU serumpun (politik) justru menjadi ruang penguasa atau kekuatan status quo memasang rambu-rambu penghalang, maka Indonesia terang yang dikehendaki mayoritas hakim konstitusi itu akan roboh.
Gelap atau terang itu tentang hari ini (today), saat ini, soal masa sekarang. Bukan tentang besok (tomorrow) tahun 2050. Masa depan atau besok seharusnya lebih baik dari hari ini. Ini kata-kata klise yang tak menghibur. Cuma sebagai bangsa, Indonesia telah mulai (bahkan sudah?) gelap sejak rezim kemarin (yesterday).