Penulis: Hanny N.**
PRESIDEN Prabowo Subianto akan meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pagi Senin, 24 Februari 2025. Peresmian badan yang akan mengelola perusahaan-perusahaan BUMN sempat tertunda tiga bulan. Peluncuran Danantara itu justru mendapat respons negatif dari para nasabah terhadap Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan memicu penarikan uang.
Pemerintah baru saja meluncurkan Danantara, sebuah super holding BUMN yang digadang-gadang akan menjadi mesin ekonomi baru Indonesia. Dengan skema kapitalisme negara, pemerintah ingin mengoptimalkan modal dan aset BUMN untuk mengejar pertumbuhan ekonomi layaknya model yang diterapkan China. Namun, siapa yang sebenarnya akan menikmati hasil dari Danantara? Apakah rakyat benar-benar akan merasakan manfaatnya, atau justru oligarki yang semakin menguatkan cengkeramannya?
Danantara: Investasi Rakyat, Keuntungan Oligarki
Danantara lahir dengan modal raksasa yang bersumber dari uang rakyat—baik melalui penyertaan modal negara (PMN) maupun dana yang dihimpun dari berbagai sumber lainnya. Ambisi besar ini mencakup investasi di berbagai sektor strategis, mulai dari hilirisasi minerba, sawit, hingga proyek-proyek prioritas pemerintah lainnya.
Namun, jika kita melihat siapa yang mengendalikan Danantara, jelas bahwa ini bukanlah proyek ekonomi rakyat, melainkan ekonomi oligarki. Jajaran petinggi Danantara diisi oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan, orang-orang yang sebelumnya sudah menikmati berbagai kemudahan dalam bisnis mereka. Danantara bukan sekadar badan usaha, tetapi kendaraan yang akan mempercepat ekspansi bisnis oligarki di pasar global.
Uang rakyat dipertaruhkan dalam persaingan global yang penuh ketidakpastian. Jika investasi berhasil, para pemilik modal akan mendapatkan keuntungan berlipat. Tetapi jika gagal? Kerugian akan ditanggung oleh negara, yang berarti rakyat kembali menjadi korban. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme, privatisasi keuntungan dan sosialisasi kerugian adalah skema yang selalu terjadi.
Kapitalisme Negara: Jalan Tengah yang Menyesatkan
Konsep kapitalisme negara yang diusung melalui Danantara seolah menjadi jalan tengah antara ekonomi pasar bebas dan sosialisme. Pemerintah tetap memainkan peran utama dalam pengelolaan ekonomi, tetapi tetap memberikan ruang bagi oligarki untuk berkembang. Retorika ekonomi kerakyatan hanya menjadi pemanis, sementara praktiknya justru mengokohkan cengkeraman segelintir elit atas sumber daya negara.
China memang sering dijadikan contoh sukses kapitalisme negara. Namun, keberhasilannya tidak lepas dari sistem politik otoriter yang memungkinkan negara mengontrol penuh perekonomian. Indonesia tidak memiliki struktur politik seperti itu, sehingga model ini justru berpotensi melahirkan lebih banyak penyimpangan, kolusi, dan eksploitasi sumber daya untuk kepentingan segelintir orang.
Ironisnya, model ini justru melanggengkan ketimpangan. Para pengusaha besar semakin kuat dengan dukungan negara, sementara rakyat tetap berjuang dalam ekonomi yang semakin kompetitif dan tidak berpihak pada mereka. Apakah ini benar-benar model ekonomi yang kita inginkan?
Islam Menawarkan Solusi Ekonomi yang Berkeadilan
Islam memiliki sistem ekonomi yang sangat berbeda dengan kapitalisme. Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga kategori utama: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu mencakup usaha dan harta pribadi yang diperoleh dengan cara yang halal.
Kepemilikan umum mencakup sumber daya alam yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau korporasi, seperti tambang, hutan, air, dan energi. Islam menegaskan bahwa kekayaan alam adalah milik rakyat dan harus dikelola oleh negara untuk kepentingan bersama, bukan untuk oligarki.
Kepemilikan negara mencakup aset-aset strategis yang dikelola langsung oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam Islam, sektor-sektor seperti minerba dan energi tidak boleh diserahkan kepada swasta, apalagi korporasi asing. Negara bertanggung jawab penuh dalam mengelolanya, dengan hasil yang dikembalikan langsung kepada rakyat dalam bentuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tanpa pungutan.
Berbeda dengan kapitalisme yang berbasis eksploitasi dan monopoli, Islam mengatur agar setiap individu memiliki akses yang adil terhadap sumber daya ekonomi. Kesejahteraan bukan hanya sekadar angka pertumbuhan ekonomi, tetapi jaminan bahwa setiap individu terpenuhi kebutuhan dasarnya tanpa tekanan sistemik.
Khilafah: Sistem yang Mewujudkan Kesejahteraan Hakiki
Untuk menerapkan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh, dibutuhkan sistem politik Islam yang juga berlandaskan pada syariat. Sistem ini hanya bisa terwujud dalam Khilafah Islamiyah, di mana kekuasaan digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai alat oligarki.
Dalam Khilafah, sumber daya alam tidak diserahkan ke swasta atau asing, melainkan dikelola negara untuk rakyat.
Tidak ada sistem utang berbunga, sehingga negara tidak bergantung pada pinjaman global yang sering menjadi alat penjajahan ekonomi.
Distribusi kekayaan lebih merata, karena zakat, jizyah, dan kharaj dikelola dengan adil dan digunakan untuk kepentingan umat.
Negara mencegah monopoli dan eksploitasi, sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk sejahtera.
Sejarah mencatat bagaimana sistem ekonomi Islam pernah membawa kemakmuran luar biasa, dari masa Kekhilafahan Umar bin Khattab hingga masa Kekhilafahan Abbasiyah dan Utsmaniyah. Rakyat mendapatkan kesejahteraan tanpa harus bergantung pada investasi asing atau oligarki.
Kesimpulan: Kembalilah pada Sistem Islam
Danantara hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan ekonomi yang memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara penguasa dan oligarki dalam sistem kapitalisme. Selama sistem ini masih bercokol, rakyat hanya akan menjadi penonton dalam pertarungan ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka.
Islam telah memberikan solusi yang jelas dan tegas dalam pengelolaan ekonomi. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh—melalui Khilafah Islamiyah—kesejahteraan sejati bisa terwujud. Rakyat tidak lagi harus menggantungkan nasibnya pada janji-janji kapitalisme yang penuh tipu daya, tetapi kepada sistem yang telah terbukti memberikan keadilan dan keberkahan selama berabad-abad.
Maka, pilihan ada di tangan kita: terus bertahan dalam sistem yang menindas, atau berjuang untuk tegaknya sistem yang menyejahterakan?
Wallahu’alam bish shawab