Penulis: Murtala, S.Pd.I,.M.Pd**
RAMADHAN kerap diidentikkan dengan ritual puasa, tarawih, dan tilawah Al-Qur’an. Namun, jika kita menyelami lebih dalam, esensinya justru terletak pada transformasi jiwa yang mengalir dari proses panjang pengendalian diri.
Di sinilah makna “la’allakum tattaqun” (QS. Al-Baqarah: 183) menemukan relevansinya: Ramadhan bukan sekadar kewajiban menahan lapar dan dahaga, melainkan laboratorium ruhani untuk melahirkan insan yang taqwa—sebuah istilah yang sering disederhanakan sebagai “takwa”, padahal ia adalah cermin kedewasaan jiwa yang utuh.
Taqwa sebagai Pendakian Menuju Kedirian yang Matang
Taqwa berasal dari akar kata waqa-yaqi-wiqayah, yang berarti “menjaga” atau “melindungi”. Dalam konteks psiko-spiritual, ia adalah upaya untuk melindungi jiwa dari segala yang merendahkan martabat kemanusiaan: egoisme, kemarahan destruktif, keserakahan, atau ketidaksabaran. Ramadhan, dengan disiplin puasanya, mengajak kita untuk tidak hanya “tidak makan dan minum”, tetapi juga menahan lisan dari ghibah, pikiran dari prasangka, dan hati dari kebencian. Setiap hari, kita dilatih untuk memilih respons terbaik atas dorongan insting yang kerap menguasai diri. Di titik inilah taqwa menjelma sebagai kematangan: kemampuan mengelola emosi, mengutamakan kebijaksanaan di atas nafsu, serta memandang kehidupan dengan kesadaran yang lebih luas.
Puasa: Latihan Empati dan Kesadaran Transendental
Ketika perut kosong, jiwa diajak lebih peka merasakan denyut kehidupan orang lain. Lapar yang kita rasakan bukan sekadar sensasi fisik, melainkan pintu masuk untuk memahami penderitaan mereka yang serba kekurangan. Dari sini, Ramadhan menjadi sekolah empati. Taqwa sebagai kedewasaan jiwa terwujud ketika kesadaran itu tidak berhenti pada rasa iba, tetapi melahirkan aksi nyata: berbagi, memaafkan, atau memperbaiki relasi. Pada saat yang sama, ibadah malam (tarawih, tahajud, atau tadarus) mengingatkan kita bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis, melainkan entitas spiritual yang perlu terus-menerus “membersihkan lensa” hatinya agar bisa melihat dunia dengan perspektif Ilahi.
Ujian Ramadhan: Mengolah Kesulitan menjadi Kekuatan
Tidak semua orang mampu konsisten menahan diri sebulan penuh. Ada momen lelah, bosan, atau tergoda untuk melanggar. Justru di sinilah proses pendewasaan terjadi: Ramadhan mengajarkan bahwa ketahanan (resilience) adalah buah dari repetisi. Setiap kali kita bangkit setelah hampir menyerah, setiap kali kita memilih sabar meski dihujat, atau setiap kali kita tetap tersenyum meski lelah—di situlah jiwa bertumbuh. Taqwa tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari kesadaran untuk terus memperbaiki diri meski berkali-kali terjatuh.
Pasca-Ramadhan: Taqwa sebagai Gaya Hidup
Kedewasaan sejati bukanlah pencapaian, melainkan perjalanan. Jika Ramadhan berhasil “menempa” jiwa, maka nilai-nilai taqwa akan terus hidup bahkan setelah bulan suci berlalu: kesederhanaan dalam konsumsi, kejujuran dalam berbisnis, atau kesantunan dalam berkomunikasi. Inilah makna terdalam dari la’allakum tattaqun—bahwa puasa adalah alat, bukan tujuan. Tujuannya adalah melahirkan pribadi yang tidak hanya religius dalam ritual, tetapi juga matang dalam berpikir, bijak dalam bertindak, dan lembut dalam bersikap.
Penutup
Ramadhan mengajarkan bahwa taqwa bukan sekadar label “orang saleh”, melainkan bukti kedewasaan jiwa yang mampu mengintegrasikan iman, akal, dan empati dalam setiap langkah. Seperti biji yang harus melewati gelapnya tanah sebelum bertunas, manusia perlu melalui “puasa” jiwa—proses penyangkalan diri, refleksi, dan pembiasaan—untuk menjadi pribadi yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga kokoh secara mental dan mulia secara moral. Inilah hadiah terbesar Ramadhan: kesadaran bahwa kematangan jiwa adalah puncak dari segala ibadah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
**). Pimpinan Dayah Modern Rahmania dan kepala Panti Asuhan Rahmania-Blang Panyang