KANDUNGAN zat di Minyakita ramai diperbincangkan publik usai Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menemukan indikasi pelanggraan prosedural di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Takaran Minyakita diduga tidak sesuai dengan yang tertera di label dan dijual di atas Harga Ecer Tertinggi (HET). Tak hanya itu, beberapa produk yang berlabel Minyakita disebut-sebut palsu atau dioplos dengan minyak curah.
Dilansir dari Antaranews, adanya pengurangan takaran yang tidak sesuai dengan label yang tertera dalam kemasan MinyaKita. MinyaKita yang umumnya memiliki kemasan 1 liter yang dijual ke masyarakat hanya berisikan 750-800 mililiter (ml). Minyak tersebut diproduksi oleh PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara, dan PT Tunas Agro Indolestari. Menanggapi temuan ini, Mentan menegaskan bahwa praktik seperti itu sangat merugikan masyarakat dan tidak bisa ditoleransi.
Mentan meminta agar perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran segera diproses secara hukum dan ditutup. “Saya sudah berkoordinasi dengan Kabareskrim dan Satgas Pangan. Jika terbukti ada pelanggaran, perusahaan ini harus ditutup dan izinnya dicabut. Tidak ada ruang bagi pelaku usaha yang sengaja mencari keuntungan dengan cara yang merugikan rakyat,” katanya.
Sementara itu soal kabar MinyaKita palsu, Kepolisian Resor Bogor telah mengungkap tempat produksi minyak goreng dengan merk dagang Minyakita yang diketahui palsu. Tempat produksi tersebut terletak di Desa Cijujung, Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro saat konferensi pers di tempat produksi, menjelaskan pengelola memperoleh minyak goreng curah dari berbagai tempat, kemudian mengemasnya dengan kemasan menyerupai Minyakita di lokasi tersebut. Minyak goreng yang dikemas menggunakan plastik itu volumenya tidak mencapai 1 liter per kemasan, namun dijual per 1 liter seharga Rp15.600. Sehingga harga yang didapat oleh masyarakat dapat menyentuh angka Rp18.000. “Jadi yang kita dalami ini soal pengurangan takaran, dengan mengubah kemasan menyerupai Minyakita. Tapi tidak dilengkapi keterangan berat bersih, serta BPOM,” kata Rio, seperti dilansir dari Antaranews.
Sementara, Wakapolres Bogor Kompol Rizka Fadhila menyebutkan pihaknya telah memeriksa enam saksi dan menetapkan satu orang tersangka berinisial TRM yang merupakan pengelola tempat produksi Minyakita abal-abal.
Adanya Minyakita oplosan hingga takaran yang tidak sesuai dijual di pasaran menunjukkan gagalnya negara mengatasi kecurangan para korporat yang berorientasi untung. Ini membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan ada di tangan korporasi. Padahal Indonesia adalah negara pengekspor minyak sawit mentah terbesar di dunia. Ia menjadi komoditas unggulan dan andalan bagi Indonesia. Sebab, pada 2023, ekspor CPO menyumbang 33,72% devisa negara. Mengutip data dari United States Foreign Agricultural Service, produksi CPO Indonesia mencapai 47 juta metrik ton.
Dengan potensi sebanyak itu, mengapa minyak goreng di dalam negeri ini harus dioplos dan tidak sesuai takaran dengan lebel dikemasan? Bahkan seharusnya minyak goreng dengan kualitas paling bagus dapat dikomsumsi masyarakat dengan harga yang murah bukan ditetapkan dengan HET.
Inilah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme dengan asas libralisme, para korporat mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan (hulu hingga hilir). Negara hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapital. Sebab, besarnya peran swasta dalam pengelolaan kelapa sawit baik dalam aspek produksi maupun distribusi.
Pada aspek produksi, kepemilikan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh perusahaan swasta dengan lahan seluas 7,7 juta ha atau 54% dari total luas lahan sawit di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2023 total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta ha. Sebanyak 50,1% atau 8,4 juta ha di antaranya dikelola oleh perkebunan besar swasta. Sementara itu, perkebunan rakyat 37% (6,3 juta ha), perkebunan besar negara 3% (0,57 juta ha), dan lahan belum dikonfirmasi 9% (1,5 juta ha). Selama satu dekade terakhir, kebun sawit milik swasta tumbuh paling pesat.