BANDA ACEH -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan keterlibatan Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Teddy Meilwansyah dalam perkara dugaan suap proyek di Dinas PUPR tahun 2024-2025.
Keterlibatan Bupati Teddy terungkap saat KPK membeberkan konstruksi perkara usai kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di OKU.
Dalam konferensi pers, KPK mengumumkan enam dari delapan orang yang terjaring operasi sebagai tersangka. Mereka adalah Ketua Komisi III DPRD OKU M Fahrudin, Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati, Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah, Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah, serta Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso selaku swasta.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan pihak DPRD yang diwakili tersangka Ferlan, Fahrudin, dan Umi menagih uang muka jatah fee sembilan proyek di Dinas PUPR kepada tersangka Nopriansyah sesuai dengan komitmen yang dijanjikan akan diserahkan sebelum Hari Raya Idulfitri.
“Pada kegiatan ini patut diduga bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh, pertemuan dilakukan antara anggota dewan, kemudian kepala Dinas PUPR, juga dihadiri oleh pejabat bupati dan kepala BPKAD,” kata Setyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Minggu sore, 16 Maret 2025.
Setyo menjelaskan, pada 11-12 Maret 2025, tersangka Pablo mengurus pencairan uang muka atas beberapa proyek. Kemudian pada 13 Maret 2025 sekitar pukul 14.00 WIB, Pablo mencairkan uang muka di Bank Sumselbabel.
“Kemudian karena ada permasalahan terkait cash flow-nya, uang yang ada diprioritaskan untuk membayar THR, TPP, dan penghasilan perangkat daerah. Meskipun ada keterbatasan namun tetap akhirnya uang muka bisa dicairkan,” tutur Setyo.
Masih di hari yang sama, Pablo menyerahkan uang sebesar Rp2,2 miliar kepada Nopriansyah yang merupakan bagian komitmen fee proyek yang dititipkan kepada Arman yang merupakan PNS di Dinas Perkim Kabupaten OKU. Uang tersebut bersumber dari uang muka pencairan proyek.
Selain itu, pada awal Maret 2025, tersangka Ahmad Sugeng sudah menyerahkan uang sebesar Rp1,5 miliar kepada saudara Nopriansyah di rumah Nopriansyah.
Setyo menjelaskan, pada Januari 2025, dilakukan pembahasan RAPBD OKU Tahun Anggaran (TA) 2025. Agar RAPBD TA 2025 dapat disahkan, beberapa perwakilan DPRD menemui pihak pemerintah daerah.
“Kemudian pada pembahasan tersebut, perwakilan dari DPRD meminta jatah pokir seperti yang diduga sudah dilakukan. Kemudian disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan sebesar Rp45 miliar,” kata Setyo.
Dari nilai proyek di Dinas PUPR Rp45 miliar itu kata Setyo, untuk ketua dan wakil ketua disepakati mendapatkan Rp5 miliar, sedangkan untuk anggota sebesar Rp1 miliar.
“Nilai ini kemudian turun menjadi Rp35 miliar. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran, tapi untuk fee-nya tetap disepakati sebesar 20 persen jatah bagi anggota DPRD, sehingga total fee-nya adalah sebesar Rp7 miliar,” terang Setyo.
Saat rancangan APBD tahun 2025 disetujui, kata Setyo, anggaran Dinas PUPR naik dari pembahasan awal Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar.
“Jadi signifikan karena ada kesepakatan maka yang awalnya Rp48 miliar bisa berubah menjadi dua kali lipat,” tutur Setyo.
Saat itu kata Setyo, tersangka Nopriansyah menawarkan sembilan proyek kepada tersangka Pablo dan Ahmad Sugeng dengan komitmen fee sebesar 22 persen, yaitu 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD.
Nopriansyah kemudian mengkondisikan pihak swasta yang mengerjakan dan PPK untuk menggunakan beberapa perusahaan atau CV yang ada di Lampung Tengah, kemudian penyedia dan PPK melakukan penandatanganan kontrak di Lampung Tengah.
Beberapa perusahaan yang melakukan proyek dimaksud, yakni untuk rehabilitasi rumah dinas bupati sebesar Rp8,39 miliar dengan penyedia CV Royal Flush, rehabilitasi rumah dinas wakil bupati sebesar Rp2,46 miliar dengan penyedia CV Rimbun Embun, pembangunan kantor dinas PUPR senilai Rp9,88 miliardengan penyedia CV Daneswara Satya Amerta.