BANDA ACEH – Seorang mantan pemimpin brandal geng yang kini telah berganti nama menjadi Abdul Aziz bercerita bagaimana suara adzan telah membawanya mengenal Islam dan menjadi sosol lebih baik. Inilah kisahnya.
Saya adalah seorang pemimpin geng selama lebih dari satu dekade. Saya memimpin geng di Bronx, Queens, dan Brooklyn. Dunia saya dipenuhi kekerasan—perampokan bersenjata, perang geng, dan berbagai tindakan kriminal lainnya.
Saya lahir di Brooklyn, New York, dan tumbuh besar di Bronx pada awal 80-an. Lingkungan saya keras, dipenuhi oleh geng dan kekerasan.
Saya tidak memiliki figur ayah dan ibu —Ayah meninggal ketika saya baru berusia tiga minggu. Ibu saya pergi meninggalkan saya dalam asuhan nenek.
Sejak kecil, saya tumbuh tanpa sosok ibu maupun ayah di rumah. Tidak ada panutan laki-laki yang membimbing saya.
Saya tumbuh tanpa jawaban atas pertanyaan mendasar tentang diri saya.
Tanpa cinta dan bimbingan di rumah, saya mencari tempat bersandar, dan di terima di komunitas jalanan. Komunitas geng menjadi keluarga saya.
Sejak itu hidup habis dalam dunia kriminal—menjual narkoba, melakukan perampokan bersenjata, dan perang geng— membua saya pernah ditembak, ditusuk, diserang berkali-kali.
Meski demikian saya terus menjalani kehidupan itu karena saya pikir itulah satu-satunya jalan.
Di jalanan, saya menghadapi banyak situasi berbahaya. Pernah suatu kali saya terpojok dan ditembak, tetapi peluru meleset.
Di lain waktu, seorang pria menodongkan pistol ke kepala saya dan menarik pelatuknya, namun pistol itu gagal meletus. Saya sudah berkali-kali nyaris kehilangan nyawa.
Saya pernah disergap, dikeroyok, dan dilarikan ke rumah sakit. Hidup saya selalu dalam kejaran. Namun, saat itu, saya sama sekali tidak takut mati.
Hidup di jalanan membentuk saya—tanpa bimbingan, tanpa arah. Saya memang ditakuti, tetapi apakah itu benar-benar memuaskan saya?
Dalam dunia geng, satu hal yang paling penting adalah rasa takut. Saya melakukan segala cara agar orang takut kepada saya—merampok pengedar narkoba, menembaki musuh, memicu pertarungan.
Saya ingin dikenal sebagai seseorang yang tak bisa disentuh. Ketika saya dan geng saya berjalan ke suatu tempat, orang-orang pada menyingkir.
Saat itu kami menguasai jalanan, dan saya menikmati kekuasaan itu. Saya menikmati kekacauan yang kami ciptakan sendiri.
Namun, semakin lama, saya mulai merasakan kehampaan. Semua itu terasa hampa. Hingga akhirnya, dalam keterpurukan.
Pemberontakan Agama
Seperti yang diajarkan kepada saya sejak kecil, di sinilah kontradiksi mulai muncul. Ajaran-ajaran Ibu sejak kecil kadang melintas dipikiran saya.
Yesus dikatakan sebagai Anak Tuhan, tetapi di saat yang sama juga disebut sebagai Tuhan. Saya dihadapkan pada dilema—harus memilih satu di antara keduanya.
Namun, tidak hanya itu yang membingungkan. Konsep Trinitas semakin menambah kerumitan: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Jika ada Bapa dan Anak, lalu sekarang ada Roh juga?
Di sinilah pertentangan mulai muncul dalam pikiran saya. Akibatnya saya mulai memberontak terhadap agama, hingga mencapai titik di mana saya benar-benar tidak percaya pada keberadaan pencipta.
Saya tidak percaya pada Tuhan. Jika Tuhan ada, mengapa saya harus mengalami penderitaan ini?
Saya marah. Saya bahkan mengutuk Tuhan. Saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu saya membunuh ayah saya, lalu menghilang begitu saja. Hidup saya terasa hampa. Saya meragukan segala sesuatu, termasuk keberadaan Sang Pencipta.
Saya mulai berpikir bahwa saya sendirilah pencipta takdir saya. A’udhubillah, saya bertindak seolah tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari diri saya sendiri.
Karena saya merasa muda, penuh amarah, dan merasa tidak membutuhkan siapa pun. Saat itu saya berusia sekitar 18 atau 19 tahun.
Dalam hidup saya, tidak ada tempat untuk kelemahan. Saya ingin dikenal sebagai sosok yang ditakuti.
Saya mulai berpikir bahwa sayalah penguasa hidup saya, sang kreator. Saya pernah bersumpah, “Saya tidak akan pernah menjadi Muslim. Saya tidak akan pernah menundukkan wajah saya ke tanah (sujud, red).”
Tertangkap Polisi
Hidup yang saya jalani dahuku adalah satu-satunya kehidupan yang saya tahu. Saya menikmatinya, bukan karena hal itu benar, tetapi karena saya tidak mengenal kehidupan lain.