Penulis: Muhammad Syawal Djamil**
PENDIDIKAN bukan semata proses mentransfer pengetahuan, melainkan pembentukan manusia yang utuh—yang berpikir kritis, memiliki karakter, serta mampu menjalani hidup secara bermakna. Gagasan inilah yang menjadi pondasi kuat dari visi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang dalam berbagai forum menekankan perlunya pendekatan pendidikan yang holistik, membebaskan, dan berbasis pada nilai-nilai keadilan serta kemanusiaan.
Dalam pandangan Abdul Mu’ti, pendidikan harus memberi ruang bagi pengembangan akal, moral, dan spiritual peserta didik. Sekolah seharusnya tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi ruang tumbuh yang memungkinkan siswa menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini, pendekatan deep learning atau pembelajaran mendalam tentunya sangat relevan, karena berangkat dari pemahaman bahwa belajar bukan sekadar mengetahui; tetapi memahami dan memaknai.
Konsep deep learning bersandar pada prinsip-prinsip psikologi kognitif yang menekankan bahwa proses belajar melibatkan perhatian (attention), pengolahan informasi yang mendalam (deep level processing), dan keterhubungan dengan pengalaman sebelumnya (prior knowledge).
Maka itu, dalam konsep model ini, guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi fasilitator yang membantu siswa membangun makna dari apa yang mereka pelajari. Pun demikian materi pelajaran tidak disampaikan secara abstrak, tetapi dikaitkan dengan pengalaman hidup siswa, konteks sosial-budaya mereka, dan problematika nyata yang mereka hadapi.
Namun, harus diakui, praktik pendidikan di lapangan masih jauh dari harapan tersebut. Banyak sekolah masih menerapkan pendekatan surface learning, yaitu pembelajaran permukaan yang berfokus pada penguasaan materi dan pencapaian nilai, bukan pada pemahaman dan aplikasi dalam kehidupan. Sistem evaluasi pun cenderung mengukur hafalan, bukan kemampuan berpikir kritis.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa laporan Bank Dunia tahun 2023 menyebutkan, bahwa lebih dari 56 persen siswa usia 10 tahun di Indonesia tidak mampu memahami teks bacaan sederhana. (wordbank.org)
Satu pertanyaan dasar: jika anak-anak tidak dapat memahami teks, bagaimana mungkin mereka bisa berpikir kritis, menulis, atau berargumentasi? Inilah yang menjadi cerminan dari pembelajaran yang terlalu berorientasi pada hasil, dan terlalu sedikit pada proses.
Dalam berbagai kesempatan, Abdul Mu’ti menekankan pentingnya “membangun nalar” dalam pendidikan, yaitu menjadikan berpikir sebagai bagian dari proses belajar, bukan sekadar menghafal dan mengulang. Ini sejalan dengan prinsip deep learning yang mendorong keterlibatan kognitif dan afektif secara aktif. Proses belajar idealnya melibatkan emosi, pengalaman, dan refleksi, agar pengetahuan yang diperoleh tidak hanya menjadi informasi, tetapi juga membentuk sikap dan tindakan.
Kurikulum Merdeka sebenarnya telah memberikan arah ke sana. Dengan memberi fleksibilitas kepada sekolah dan guru untuk merancang pembelajaran yang lebih kontekstual, kurikulum ini membuka peluang untuk menerapkan deep learning. Namun demikian, tantangan terbesar justru terletak pada pelaksanaannya. Banyak guru belum sepenuhnya memahami pendekatan tersebut, atau tidak memiliki dukungan dan waktu yang cukup untuk mengimplementasikannya dengan efektif.
Ekosistem Pendukung
Transformasi menuju pembelajaran mendalam memerlukan ekosistem pendidikan yang mendukung. Pertama, guru perlu didampingi secara serius melalui pelatihan yang tidak bersifat sesaat, tetapi berkelanjutan. Pelatihan guru harus berfokus pada pengembangan pedagogi reflektif, bukan sekadar administrasi kurikulum.
Kedua, sistem evaluasi harus dirombak. Evaluasi tidak lagi hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga proses berpikir, kemampuan kolaborasi, dan refleksi diri siswa. Asesmen formatif, proyek berbasis masalah (project/problem-based learning), dan portofolio pembelajaran adalah beberapa pendekatan yang bisa mendorong pembelajaran lebih bermakna.
Ketiga, perlu ada keberpihakan yang jelas terhadap sekolah-sekolah di wilayah tertinggal, terluar, dan terpinggirkan. Seperti sering disampaikan Abdul Mu’ti, pendidikan harus menjadi sarana pemerataan, bukan penguat ketimpangan. Jika hanya sekolah-sekolah unggulan yang mampu menerapkan deep learning, maka tujuan keadilan dalam pendidikan akan gagal tercapai.
Keempat, peran orang tua dan masyarakat tidak bisa diabaikan. Budaya belajar yang kritis dan reflektif tidak bisa dibangun hanya di dalam ruang kelas. Perlu dukungan lingkungan rumah dan masyarakat yang mendorong anak untuk bertanya, bereksplorasi, dan berpikir mandiri.
Penting juga untuk menyadari bahwa deep learning tidak harus selalu berarti pembelajaran kompleks. Justru yang paling esensial adalah bagaimana guru membangun koneksi antara materi dan kehidupan nyata siswa. Misalnya, dalam pelajaran IPS, alih-alih hanya menghafal nama-nama provinsi atau letak geografis, siswa diajak untuk memahami bagaimana letak geografis memengaruhi kondisi ekonomi, budaya, atau akses pendidikan di suatu daerah. Pun demikian dalam pelajaran agama, siswa diajak merefleksikan nilai keadilan dan empati dalam konteks sosial mereka saat ini.
Pola pendidikan seperti ini bukan hanya membuat siswa lebih paham, tetapi juga lebih terlibat dan terdorong untuk bertindak. Inilah esensi dari pendidikan yang membebaskan—yang tidak menjadikan siswa sebagai objek kebijakan atau kurikulum, melainkan sebagai subjek belajar yang aktif, reflektif, dan berdaya.
Mewujudkan semua hal di atas tentunya bukan hal mudah. Tetapi jika kita benar-benar ingin membangun masa depan pendidikan Indonesia yang setara, inklusif, dan bermakna, maka kita tidak punya pilihan lain selain memulainya dari ruang kelas, dari cara guru mengajar, dan dari bagaimana siswa diajak berpikir.
Inilah saatnya kita mendefinisikan ulang keberhasilan pendidikan, bukan dari berapa banyak materi yang selesai diajarkan, tetapi dari seberapa dalam siswa memahaminya dan seberapa jauh hal itu membentuk cara mereka berpikir dan bertindak dalam kehidupan. Nyanban!
**). Praktisi pendidikan, aktif dalam berbagai komunitas profesi guru. Saat ini mengajar di Sekolah Sukma Bangsa.